Labels

Tuesday, 20 March 2012

Ijinkan Aku Hidup di Bawah Naungan Al-Qur’an


creativgua.blogspot.com
            Dibawah naungan Al-Qur’an aku berusaha menjalani hidup. Merasakan semua nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya. Nikmat yang menentukan kwalitas setiap pribadi di mata manusia maupun Rabbnya. Nikmat yang mengangkat harkat manusia, menjadikannya diberkahi dan menyucikannya.

            Segala puji milik Allah, Rabb yang penuh keagungan yang telah memberiku kesempatan untuk hidup di bawah naungan Al-Qur’an dalam suatu rentan waktu jatah usiaku. Dimana aku merasakan nikmat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dalam hidupku. Kurasakan nikmat ini dalam hidupku, yang menjadikan usiaku bermakna, diberkahi dan suci bersih.

            Kutempuh hidup dengan kudengar Allah Yang Mahasuci berbicara kepadaku dengan Al-Qur’an ini, padahal aku sejumput hamba yang kecil. sebutir debu ditengah padang pasir yang luas tak berujung dan setetes air ditengan samudra nan luas tak terbatas.

            Adakah penghormatan manusia seperti penghormatan yang tinggi dan mulia seperti ini ? Adakah pemaknaan dan peningkatan harkat usia seperti yang diberikan oleh Al-Qur’an ini? Kedudukan yang manakah yang lebih mulia yang di berikan oleh Pencipta Yang Maha Mulia kepada manusia?

voa-islam.com
            Aku ingin selalu hidup di bawah naungan Al-Qur’an. Dari tempat yang tinggi, kulihat kejahiliahan (kebodohan) yang bergelombang di muka bumi. Kulihat pula kepentingan penghuni-penghuninya yang kecil tak berarti. Kulihat kekaguman orang-orang yang bodoh  terhadap apa yang mereka miliki bagaikan kanak-kanak; pikiran-pikiran, kepentingan dan perhatiannnya bagaikan anak-anak kecil. ketika kulihat mereka aku bagaikan seorang dewasa yang melihat permainan anak-anak kecil, pekerjaan anak-anak kecil dan tutur katanya yang pelat seperti anak kecil.

            Mengapa manusia-manusia ini? Mengapa mereka terbenam dalam lumpur lingkungan, tanpa bisa dan mau mendengar seruan luhur dan mulia, seruan yang mengangkat harkat kehidupan, menjadikannya diberkahi dan menyucikannya?

            Aku ingin selalu hidup di bawah naungan Al-Qur’an sambil bersenang-senang dengan menikmati gambaran yang sempurna, lengkap, tinggi dan bersih bagi alam wujud ini. Tentang tujuan alam semesta seluruhnya dan tujuan penciptaan manusia. Kubandingkan dengan konsepsi jahiliyah tempat manusia hidup di timur dan barat, di utara dan selatan, dan aku bertanya, “Bagaimana manusia hidup di dalam kubangan busuk, di dataran paling rendah dan di dalam kegelapan yang hitam pekat, sementara di sisinya ada tempat penggembala yang subur, tempat pendakian yang tinggi dan cahaya yang cemerlang?”

Aku ingin selalu hidup di bawah naungan Al-Qur’an, kurasakan simponi yang indah antara gerak kehidupan manusia yang dikehendaki Allah dan gerak alam semesta yang diciptakan-Nya. Kemudian kuperhatikan lagi kehidupan jahiliyah, maka terlihat olehku kejatuhan yang dialami manusia karena menyimpang dari sunnah kauniyah dan benturan ajaran-ajaran yang rusak serta jahat yang telah lama bercokol dijiwa manusia. Aku berkata dalam hati “Setan keparat manakah gerangan yang telah membimbing langkah mereka ke neraka jahim ini!!!?
Wahai betapa ruginya manusia ini !!!

Aku ingin selalu hidup di bawah naungan Al-Qur’an, kulihat alam wujud ini jauh lebih besar daripada kenyataan lahiriyah yang terlihat ini. Lebih besar hakekatnya, lebih banyak sisinya. Ia adalah alam ghaib dan juga alam nyata bukan cuma alam nyata saja. Ia adalah dunia dan akherat, bukan cuma dunia ini saja. Pertumbuhan manusia dan kemanusiaan terus berkembang di cabang-cabang dari ruang lingkup yang amat panjang ini. Sedangkan, kematian bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi sebuah tahapan perjalanan itu sendiri. Kematian menjadi awal kehidupan akherat yang kekal.

Padahal, apa yang didapat di muka bumi ini bukanlah keseluruhan, melainkan hanya sejumput kecil  saja dari bangiannya itu. Balasan yang terlupakan dari manusia di dunia, tidak ada yang terlupakan di sana. Maka tidak ada penganiayaan, tidak ada pengurangan  dan tidak ada penyia-nyiaan.

Perjalanan  yang ditempuhnya di atas planet bumi ini hanya sebuah perjalanan di alam kehidupan yang bisa berlaku, sedang dunia yang jujur dan penyayang adalah yang punya ruh dan saling bertemu dan bertegur sapa, dan menuju kepada penciptaan yang maha Esa, yang kepada-Nyalah ruh orang-orang mukmin dalam kekhusyuan.

Di bawah bayang-banyang Al-Qur’an aku ingin senantiasa hidup. Melihat manusia sebagai makhluk yang lebih banyak mendapatkan penghormatan dibandingkan  yang diberikan oleh manusia itu sendiri. Bahkan banyak yang mempertuhankan manusia karena uang dan jabatan.

.......
Aku ingin selalu hidup di bawah naungan Al-Qur’an
Menikmati sisa hidupku dengan naungan cahayan-Nya yang terang
Membawanya sebagai bekal perjalanan dan menebarnya kesemua orang
Berharap mereka dapat merasakan nikmat yang tak pernah mereka rasakan
......
Di bawah naungan Al-Qur’an kucoba merenung dan mengajak semua yang bernyawa
Memahami dan memaknai setiap episode kehidupan yang sudah Al-Qur’an gariskan
Hingga hanya, senyum dan senyum yang kita tebar
Karena di saat itulah kita sudah memiliki cara pandang hidup yang Islam ajarkan
......
Di bawah bayang-banyang Al-Qur’an
Ku coba melangkah dengan keimanan yang menjulang
Ku ingin mengajak mereka menikmati setiap seni kehidupan
Setiap senang, setiap lapang, setiap sedih dan setiap penat
.....
Di bawah naungan Al-Qur’an
Semuanya nampak indah tak bercelah kesemrawutan
Semuanya nampak serasi tak bercelah permusuhan
Semuanya nampak saling memahami tak bercelah kedengkingan
Semua nampak saling memahami tak bercelah keegoisan

By. Rief_fatih, disarikan dari Muqadimah tulisan Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilal Qor’an, Mutiara kehidupan, 21 Maret 2012

Aku Tetap Ingin Menikahinya Di Jalan Dakwah


santosopreunership.wordpress.com
            ......
            Jalanya para pejuang tak semudah membalik telapak tangan. Semakin berliku dan terjal jalan yang dilalui sebagai petanda kwalitas dirinya. Semakin tinggi ujian keimanan, semakin mendekatkannya ke surga, alam abadi yang tak berujung dan penuh dengan kenikmatan. 

            Itulah hakikat kehidupan yang seharusnya kita pahami. Sehingga tak sedikit mereka yang harus terjatuh dalam kondisi itu. Merasa tak mampu menghadapi ujian yang Allah berikan, sehingga membuatnya lari dari kenyatan. Mencari sesuatu yang lain bahkan lebih buruk dari kondisi awalnya. Merasa Allah tak menyayangi dirinya, sehingga membuatnya menjadi orang yang tak mensyukuri nikmat. Merasa Allah tak adil memperlakukan dirinya, sehingga menjadi orang yang frustasi dan menyesal menjalani kehidupan.

            Kondisi itu bisa berlaku bagi siapapun, tak memandang dia mas’ul atau pemimpin, tak memandang ia jundi atau pasukan, tak memandang ia kaya atau miskin, tak melihat ia cantik atau tampan, tak peduli ia orang terhormat ataupun ningrat. Semuanya bisa terjatuh dan tergerus roda kehidupan. 

            Inilah proses seleksi kehidupan. Menguji siapa yang kuat imannya dan menjaga kehormatanya. Menguji siapa yang benar-benar menjadikan Allah sebagai tujuanya atau hanya kenikmatan sesaat dunia. Menguji siapa yang terbaik di antara manusia, sehingga mereka layak ditempatkan ditempat tertinggi di sisi Rabbnya.

Begitu pula dengan kesabaran menanti calon pendamping hidup. Rentan waktu menunggu menjadi ujian kesabaran dua insan manusia yang mengharap ridho Rabbnya. Bisa jadi kesabran itulah yang akan menjadi mahar terindah ikatan suci sebuah pernikahan. Karena kita tak pernah tahu kapan Allah mempertemukan kita dengan pangeran berkuda putih atau bidadari dunia.

Entah tahun ini, tahun depan atau bahkan ketika di surganya Allah kita tak pernah tahu. Yang harus kita yakini jodoh adalah hak Allah yang akan menentukan kapan dan dimana  kita dipertemukan. Semua tampak bias dan samar tak tertangkap oleh sebuah kepastian.

Namun yang membedakan seorang pejuang dengan manusia lainnya adalah tentang keyakinan yang sudah Allah hembuskan dalam hatinya. Yakin bahwa setiap yang bernyawa sudah Allah pasangkan dengan kriteria terbaik-Nya. Yakin bahwa suatu saat pasti akan tiba masanya. Sehingga yang terpenting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri kita sampai layak bertemu dengan calon pendamping hidup kita.

Sehingga ukuranya bukan sebatas menunggu dan menunggu. Akan tetapi justru yang lebih penting adalah menempa diri dan terus memperbaiki diri, beramal dan beramal hingga menorehkan ahsanu ‘amala (amal terbaik). Karena itulah yang akan menentukan derajat kita di mata Allah serta layak tidaknya kita bersanding dengan jodoh terbaik yang sudah Allah siapkan.

Paradigma inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia. Mereka salah mendefinisikan sabar hanya sebatas menunggu dan menunggu tanpa ada upaya menguprade kapasitas diri. Padahal dalam ruang waktu itu seharusnya kita maknai sebagai kesempatan yang Allah berikan untuk memperbaiki diri dan menorehkan amalan-amalan terbaik kita. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang unproduktif sehingga Allah tidak mau menjawab doa-doa yang kita lantunkan. Na’udubillah

Ada ungkapan yang cukup menggelitik, jodoh itu kan di tangan Allah, kalau tidak diambil-ambil makan akan di tangan Allah terus. Dititik ini permaslahan yang sering dihadapai adalah berkaitan dengan cara yang digunakan untuk menemukan jodoh kita. Ada yang main serobot langsung tembak atau ada juga yang melalui perantara. Yang jelas keduanya tidak ada yang salah, selama tidak melanggar batas-batas syar’i.

Wacana yang berkembang balakangan ini di kalangan para pejuang adalah bahwa menikah itu berkaitan erat dengan kepahaman dakwah itu sendiri. Sehingga semakin tinggi tingkat intima (loyalitas) sesorang terhadap dakwah dan jamaahnya semakin mengekang ego atau kriteria yang diinginkan dari pasangan hidupnya.

Pada tataran ini saya tidak mempunyai kapasitas untuk menilai bahwa pejuang yang menolak keinginan sang guru untuk menikah dengan pilihannya termasuk mereka yang tidak to’at atau tidak patuh. Atau mungkin berarti dakwahnya bermasalah sehingga lebih mengedepankan kriteria pribadinya untuk menikah. Karena semua itu berlaku faktor kondisi dan latar belakang yang menjadi alasannya.

Inilah wilayah yang sangat sensitif, ketika kita menyandingkan antara menikah, intima jamaah dan kepahaman dakwah. Sehingga kalau kita tidak hati-hati kita akan terjebak pada prasangka yang membawa ke fitnah. Karena ini wilayah hati dan niat seseorang memilih pasangan hidupnya. Sehingga menjadi bias ketika menikah yang tidak melalui jalur yang dianjurkan sang guru dianggap tidak intima.

Beberapa kejadian pernah dialami oleh seorang ikhwan yang menikah tidak melalui jalur yang dianjurkan. Bahkan ia menikah bukan dengan seorang akhwat. Ikwan tersebut pun bukan orang yang masih bau kencur mengerti dakwah, karena ia juga pernah menduduki posisi mas’ul. Tak heran keputusannya untuk menikah dengan wanita yang bukan akhwat menimbulkan hujatan dari rekan-rekannya yang lain. Tidak hanya itu ia dikucilkan dan diasingkan dari jamaahnya. Walahu’alam apakah ikhwan itu masih bertahan di medan dakwah ini.

Ada juga seorang akhwat yang menikah tidak melalui jalur yang resmi. Walapun menikah dengan ikhwan tapi akhwat tadi menjadi bahan pembicaraan rekan-rekan selingkarannya. Sehingga kondisi itu membuatnya frustasi dan akhirnya berhenti mengikuti forum pekanan.  

Apakah ini tarbaiyah yang diajarkan kepada kita? Sehingga kita berhak menilai dan mengecap seseorang bersalah dan berdosa besar tanpa mau tahu alasan setiap pribadi melakukan sesuatu. Sekali lagi ini perkara niat, hanya Allah yang berhak menilai dan memberikan keputusannya.

Seolah tindakan menikah tidak melalui jalur yang dianjurkan yang dilakukan mereka adalah dosa besar, sehingga kita layak menghinanya. Seolah kita merasa lebih baik dari mereka yang melakukan itu dan merasa berhak menghakiminya. Sekali lagi ini dimensi niat bukan hak kita untuk menilai bahkan menghakimi.
Biarlah mereka mengambil jalannya dan Allah yang akan menilainya. Biarlah mereka memilih caranya, sehingga kita hanya bisa mendoakan hasil terbaik untuk mereka. Biarlah mereka menentukan sikapnya, sehingga kita hanya bisa mendukungnya sebatas kemampuan kita.

Disaat itulah uluran tangan kita sangat dibutuhkan. Jangan lantas kita pergi meninggalkan dia dalam kebingungan. Bisa jadi langkah yang di ambilnya adalah jalan terbaik dan Allah meridhoinya. Kalau ia salah, apakah kita berhak menghakimi dan lantas tega meninggalkannya?

Sekali-kali tidak saudaraku, mereka tetap saudara kita. Saudara seiman yang tetap membutuhkan ikatan ukhuwah ini. Mereka butuh tempat bersandar dikala beban hidup menghimpit. Mereka butuh tempat mengadu dikala kebingungan menyelimuti. Mereka juga butuh tempat berbagi dikala mereka lapang ataupun sempit. Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau mendengar keluhan mereka?

Jangan sampai keegoisan dan kesombongan kita membawa mereka kelubang kenistaan. Mereka frustasi karena sikap kekurangdewasaan kita. Jangan sampai kita menyesal ketika mendapatinya menjadi orang semakin jauh dengan Rabbnya. Na’udubillah
......
Setiap orang berbeda kadar keimanan
Sehingga tercermin dalam sabar yang merupakan pantulanya
Maka pilihan sikap dan kwalitas amal yang dilakukannya pun berbeda
Sehingga hanya Allah yang yang maha Adil yang berhak menilainnya
.......
Sabar bukan berarti menunggu tak berbuat
Sabar bukan berarti diam tak berbicara
Sabar bukan berari tetap tak berkembang
Sabar juga bukan berarti berhenti tak berusaha melangkah maju
Justru sabar seharusnya membawa kita selangkah lebih maju
.....
Sabar itu pelita atau pantulan keimanan
Sehingga cara memaknai sabar bukan berarti diam tak berusaha
Justru sabar adalah ruang waktu untuk kita berbenah dan memperbaiki diri
Menorehkan amal-amal terbaik dan mengukirnya menjadi episode terindah kehidupan
......
Kadar iman menentukan sikap dan amal yang dilakukan
Sehingga kita sebagai manusia tak mempunyai hak untuk menilainya
Maka seharusnya sikap kasih sayang dan saling menghormati kepada mereka yang
berbeda
Bukan lantas menghakimi dan merendahkan mereka
.......
Tapi ikatlah mereka denga ukhuwah cinta kita
Agar ia terjaga dan senantiasa mengingat Rabbnya
Agar ia terlindungi dari perkara yang akan menistakannya
Agar ia tetap menjadi bagian dari umat Rasulullah yang akan dipertemukan di surga
......
Bertemu dalam keindahan abadi
Karena cinta yang membawa ridho Rabbnya
Karena ikatan persaudaraan yang menjaganya
Karena ikatan keimanan yang membuat kita tetap bertahan disaat orang lain
Terjatuh

By. Rief_fatih, Mutiara kehidupan, 20 Maret 2012