forum.detik.com |
Oleh: Arief Setiyadi
Pemikiran adalah suatu
proses, cara, perbuatan memikir. Sedangkan Politik menurut Miriam Budiarjdo
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik (atau negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu. [1] Maka
secara lengkap Pemikiran Politik adalah segala upaya manusia dengan menggunakan
alat akal pikiranya untuk mencapai suatu sistem politik ideal, yaitu sistem
politik yang kontruktif dengan perkembangan dan kebutuhan seluruh masyarakat.[2]
Kemudian Kata “Islam” dalam topik
“Pemikiran Politik Islam” menunjuk kepada sifat partikularistik kajian ini yang
dibatasi oleh nilai-nilai normatif yang berasal dari ajaran-ajaran Islam.[3]
Pada Dasarnya Pemikiran
Politik Islam yang berkembang dalam
dunia islam dibedakan menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, masa
pertengahan dan masa modern. Pada Masa klasik dan pertengahan kurang lebihnya
terdapat enam pemikir Islam, diantaranya Ibnu abi rabi, Farabi, Mawardi,
Ghazali, Ibu Taimiyah dan Ibnu kaldum. Dari keenam tokoh pemikir tersebut hanya
al-farabi yang mengemukakan idealisasi tentang segi-segi dan perangkat
kehidupan bernegara . Sedangkan lima orang pemikir lainnya berangkat pada
realitas sistem kekuasaan.Ibnu Kaldum Mengatakan bahwa dasar kebijakan dan
peraturan negara seharusnya berasal dari ajaran dan hukum agama, bukan hasil
karya manusia. Ibnu Taimiyah mendambakan keadilan sedemikian rupa sehingga dia
sepakat bahwa kepala negara bukan muslim tetapi ia lebih adil lebih baik dari
pada kepala negara yang muslim tetapi
tidak adil. Dari keenam pemikir tersebut kecuali Mawardi juga mengaanggap bahwa
kekuasaan kepala Negara berlaku seumur
hidup. Mereka tidak pernah memikirkan mekanisme pergantian kepala . Akan tetapi
Hanya Mawardi yang menguraikan tentang proses pemilihan pergantian kepala
negara.[4]
Awal kedatangan Islam
di Indonesia secara pesat terjadi
sekitar Abad ke-13. Proses masuknya berpangkal pada kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai,
Malaka dll. Di kota-kota tersebut Islam merupakan fenomena Istana dan disanalah
banyak lahir intelektual islam seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin, Nurrudin
ar-raniri dan Abdul Rauf Al-Sankili.[5]
Selain itu terjadi pembangunan sekolah-sekolah dan pusat pendidikan, serta
sarana Ibadah berupa Masjid. Disisi lain Sifat mistik Islam terbuka dengan
menerimapengaruh adat, tradisi dan kepercayaan-kepercayaan lama. Maka sampai
dengan abad ke-17 Islam di Indonesia bersifat Sufistis tetapi tidak mengabaikan
syariah.[6]
Proses penetrasi nilai-nilai Islam Kehidupan masyarakatnya menyebabkan
pembaharuan pola tingkah laku pada bidang sosial-politik, ekonomi dan lainnya,
serta meletakan dasar bagi berbagai corak struktur pengaturan kekuasaan[7].
Lebih jauh dalam proses sosialisasi nilai-nilai islam yang sinkretis atau
“Islam Lokal” dan Islam yang didengungkan oleh kaum reformis atau “Islam universal” serta masuknya kolonialisme
dengan sistem pendidikan baratnya sebagai realisasi politik etis pada awal abad
ke-20 membentuk sikap kamu muslimin di Indonesia beragam.[8]
Pada Akhir Abad 19 dan
Awal Abad 20 mulailah muncul Reformasi Islam melalui tiga cara : Yang pertama,
melalui masyarakat arab yang bermukim di Indonesia (pada tahun 1900 jumlah
masyarakat Arab yang tinggal di Indonesia sekitar 18.000 orang). Yang kedua,
dilakukan oleh kalangan pribumi dengan para pengikut di Minangkabau. Yang Ketiga,
dikembangkan oleh Serikat Islam (1913) dan Muhammadiyah yang berdiri tanggal 18
Nofember 1912.[9] Dalam
Perkembangannya munculah Organisasi keislaman lain yaitu : Persis (Persatuan
Islam ) yang berdiri sekitar tahun 1920-an, dengan tujuan penyempurnaan ajaran
islam seluas-luasnya. Kemudian muncullah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 yang
merupakan sebuah reaksi dari kaum Tradisional yang berdeda pemikiranya dengan
kaum pembaharu yaitu Muhammadiyah dan Persis. [10]
Secara Umum dapat
dikatakan sebelum abad ke-20 Pola gerakan politik Islam di Indonesia masih
bersifat komunal dengan solidaritas yang bersifat mekanis Solidaritas sosial
ini berkembang dalam struktur Masyarakat agraris dan biasanya berpusat pada
tokoh-tokoh karismatis[11].
Artinya pengertian “Nasionalisme” terbatas dalam konsep etnis-kultural.
Onghokhan menambahkan, “ Sejak penyebaran Islam di Indonesia, agama memainkan
peranan penting sebelum dipegang oleh agama lain sebelumnya.[12]
Memasuki babak awal abad ke-20 ciri-ciri
gerakan Islam mulai berubah, dari awalnya yang bersifat komunal menjadi pola
Asosiasional dan solidaritas yang bersifat organis.[13]
Para pemimpinya tidak lagi dari pedesaan tetapi dari kelas mengengah perkotaan.
Merekapun mulai menerapkan bentuk organisasi modern. Hubungan antara pemimpin
dan pengikutnya yang awalanya bersifat paternalistis, maka berubah menjadi
lebih rasional. Gerakan yang berpola asosiasional membuat aktivitasnya meluas
dan tidak lagi kedaerahan. Pengambilan keputusanpun lebih demokratis dengan
menggunakan mekanisme musyawarah. Tradisi demokrasi dan partisipsi pun mulai
terbentuk.[14]
Dengan demikian , dalam
struktur sosial-politik yang baru pada awal abad ke-20, menggantikan peranan
ulama dan para bengsawan tradisional, ada tiga pimpinan politik dalam
masyarakat Indonesia, yaitu : pertama, kemu intelektual baru yang
berpaham sekuler, mereka adalah lulusan lembaga pendidikan modern. Kedua,
Golongan “Islam Modern” yang lahir dari gerakan reformisme pemikiran Islam dan
“Islam Tradisional” yang tetap memegang tradisi sebagai reaksi terhadap
pembaharuan Islam. Kedua golongan ini pun banyak yang menikuti pendidikan
modern. Ketiga, Kelompok status quo yang disokong oleh belanda.[15]
Pada Masa pemerintahan
Hindia Belanda awala abad ke-20, ketika terjadi Kebangkitan Nasional dalam
pergerakan kebangsaan Indonesia, para pemimpin dari ketiga kelompok tersebut
bersaing dalam bentuk representasi organisasi-organisasi. Sebagaimana kita
ketahui organisasi-organisasi tersebut adalah
Budi Utomo (20 mei 1908), kemudian disusul Taman siswa, Jong Java, Jong
Sumatra Bond, Jong Ambon, jong Selebes. Kemudia dari golongan sekuler lahirlah Indische partij (1913),
Partai Nasional Indonesia (4 juli 1927), Partai Indonesia dan Partindo (April
1931), Pendidikan Nasional Indonesia
atau PNI Baru (Desember 1933), Partai Indonesia Raya atau Parindra (16
Desember 1935) dan gerakan Rakyat Indonesia atau Gerindo (24 mei 1937).[16]
Dari Golongan sosialisme-komunis lahir ISDV dan kemudian berubah menjadi PKI.
Sementara itu dari golongan Islam lahir, Serikat dagang Islam (SDI) di Bogor
(1909) dan Solo (1911), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911),
Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di bandung
(1920-an), Nahdlatul Ulama di Surabaya (1926) , dan Persatuan Tarbiyah Islamiya
(Prti) di Candung, Bukitinggi (1930). Juga Partai-partai Politik Islam seperti
Serikat Islam atau SI (1912) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan
Muslimin Indonesia atau Pemi (1932) yang merupan kelanjutan dari organisasi
Pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938.[17]
Lebih jauh berbicara
Partai Politik yang pertama kali berdiri di Inonedia adalah Serikat Islam.
Partai ini menjadi cikal bakal keehidupan politik di Indonesia. . John Ingleson
mengatakan “ sejak pembentukannya pada tahun 1912, Ia (SI) merupakan partai
Politik Islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun menjadi partai modern
satu-satunya pada masa kolonial.[18]
Dalam kinerjanya dalam periode tahun 1911-1916, menurut Desetasi Koever
menyimpulkan bahwa “SI menyadarkan lapisan luas Masyarakat dari keterbelakangan
dan dari kenyataan orang tidak begitu saja harus tetap pasrah. Mentalitas
orang-orang terjajah harus berusaha diubah menjadi lebih aktif , tidak pasrah
saja menerima keadaan. SI meniupkan hidup baru pada semangat persamaan.”[19]
Dalam Perkembanganya
ternyata Keinginan untuk menciptakan hubungan yang harmonis diantara pemimpin
Islam dari berbagai organisasi mendorong
terbentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tanggal 21 September 1937 di
Surabaya. Tokoh Pemrakarsanya adalah K.H Mas Masyur dari Muhammadiyah, K.H.
Muhammad dahlan dan K.H. Wahab hasbullah dari NU dan W. Wondoamiseno dari SI. Organisasi
Ini bersifat federatif, dengan tujuab utama mempererat hubungan kaum muslimin
di Dunia dan Khususnya Indonesia. Dalam status pendiriannya disebutkan
“Mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian diantara golongan umat islam
di Indonesia, baik yang tergabung dalam MIAI maupun yang belum.[20]
Pembentukan MIAI disambut baik oleh kalangan Islam. Pada awalnya MIAI hanya
beranggotakan 7 organisasi[21],
sedangkan pada tahun 1941 berkembang menjadi 21 organisasi.
Disisi Lain hubungan
antara Organisasi Islam dan Nasional-sekuler sejak pertengahan 1920-an dan awal
1930-an berlangsung tidak harmonis, penuh rasa saling curiga dan sakit hati.
Baru kemudian hubungan ini mulai membaik setelah terbentuknya Gabungan Partai Indonesia
(GAPI) pada tahun 1939 dan majelis rakyat Indonesia (MRI). Namun walaupun
demikian secara idiologis mereka tetap berbeda dan saling mencurigai. Contoh
menarik adalah perdebatan antara Mohammad Natsir dan soekarno pada masa itu.
Dan sampai pada Akhirnya kerjasama tersebut hanya bisa bertahan psampai tahun
1942 karena pertikaian.[22]
Pada masa Pendudukan
Jepang, Golongan islam mendapat dukungan
penuh untuk mendirikan organisasi, berbeda dengan golongan nasional sekuler.
Ini Menjadi bukti untuk pertamakalinya dalam sejarah modern Indonesia, ada
pemerintahan yang memberikan tempat
penting kepada golongan islam. Pemerintah jepang berangsur-angsur mengakui kembali organisasi Islam yang
sebelumnya dibekukan, tetapi tidak membolehkan bagi organisasi Nasional sebelum
perang. Pada tanggal 10 september 1943 Muhammadiyah dan NU disahkan kembali,
disusul dengan persyarikatan umat Islam di majalengka pada tanggal 1 februari
1944 dan Persatuan Umat islam di Sukabumi[23]
. Dalam perkembanganya jepang mendirikan Kantor Departemen Agama pada tahun
1944. Kemudian semakin banyak pula orang-orang Islam yang masuk dalam struktur
pemerintahan, sehingga secara tidak langsung memberikan pengalaman yang
berharga bagi penduduk muslim. Akan tetapi walapun begitu, hal ini tidak
terlalu besar dampaknya bagi perkembangan perjuangan politik Islam di
Indonesia.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa indonesia
adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam. Dalam
Konteks Politik, seperti halnya negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
beragama Islam misalnya Turki, Pakistan dan Libya, ternyata Indonesia mengalami
kesulitan serius, bagaimana membangun hubungan politik antara agama (Islam) dan
Negara. Kesulitan itu, seperti dipetakan
oleh Zifirdaus Adnan dari Griffith
University, kemudian mengerucut pada dua perdebatan Pokok, Pertama,
Kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan Negara, baik
dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai Agama negara, atau negara yang memberlakukan
agama Islam. Contohnya adalah : Kelompok Moderat seperti NU, Kelompok radikal
seperti Darul islam (DI) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo dan dalam batas
tertentu Masyumi juga masuk dll. Kedua, Kelompok yang menentang kaitan
antara Islam dan negara dalam bentuk apapun. Mereka itu adalah orang-orang
Islam yang menggunakan perpektif kenegaraanya dengan paradigma Nasionalis
(secara Sosiologis disebut Islam Abangan). [24]
[1] Abdul Azis
Thaba, 1996. Islam dan Negara dalam
Politik Orde baru, Jakarta : Gema Insani Press, hlm.83
[5] A.H.Jones, “Islam di dunia
Melayu : Sebuah survei penyelidikan dengan beberapa referensi kepada tafsir
Al-Qur’an, dalam Azra, hlm.102, 106
[6] Bahtiar Effendy, 2001 Teologi BaruPolitik Islam : Pertautan Agama,
Negara dan demokrasi, Yogyakarta :
Galang Printika, Hlm.120-122
[7] Taufik Abdullah,1989. “Islam dan
Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara : suatu perpektif perbandingan, Jakarta :
LP3S, hlm.60
[19] di kuti dari Abdul Azis
Thaba, 1996. Islam dan Negara dalam
Politik Orde baru, Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 141-142
[21] Yaitu PSII, Muhammadiyah, POI,
Al Irsyad cabang Surabaya, Hidayatullah,
islamiya Banyuwangi dan Khairiyah Surabaya. Periksa dalam Maksoem machfoedz,
Kebangkitan Ulama dan bangkitnya Ulama, Surabaya : Yayasan Kesatuan Umat,tt,
hlm.54. dikutip dari Abdul Azis Thaba, op.cit.,hlm.144
[24] Bahtiar Effendy, 2001 Teologi BaruPolitik Islam : Pertautan Agama,
Negara dan demokrasi, Yogyakarta :
Galang Printika, Hlm. Vii-viii
================================================================
PERHATIAN !
Buat Sista dan Bunda yang punya masalah seputar Kecantikan, kewanitaan dan kandungan:
- Jerawat tak kunjung sembuh
- Noda Jerawat yang tak kunjung hilang
- Luka bakar, oprasi yang buat anda ga pede
- Keputihan
- Gatal, gatal, bau tak sedap di mis v
- Kanker servick, miom
- Kegemukan
- Terlalu kurus
- Sudah lama menikah belum HAMIL
Temukan solusinya di tempat kami
Konsultasi GRATIS via sms/wa 085643035547
bb 75966580
No comments:
Post a Comment