Labels

Monday 22 October 2012

NU Masa Orde Lama

sociopolitica.wordpress.com

Oleh: Arief Setiyadi
Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti Kebangkitan Ulama sebagai jam'iyah diniyah (Perkumpulan Keagamaan) didirikan pada 31 Januari 1926. NU didirikan tahun 1926 sebagai organisasi ulama dan para santri di lingkungan pesantren. Sekalipun basis NU di perdesaan, NU mampu menunjukkan kekuatannya dalam bidang politik. Selama Perang Dunia II misalnya, karena kekuatan politiknya, penguasa Jepang mendudukkan Rais Am NU sebagai Kepala Shumubu’ (Kantor Nasional Urusan Agama). Setelah kemerdekaan, jabatan menteri agama hampir selalu menjadi jatah NU di pemerintahan.[1]
“Sehubungan dengan makin meluasnya gerakan Islam baru di kota-kota seperti yang dilakukan oleh SI dan Muhammadiyah secara tidak langsung mengurangi ruang gerak umat Islam di pedesaan. Di samping itu pada tahun 1926 akan diadakan kongres Islam sedunia di Hijaz, sehingga para ulama bersepakat untuk menampung dan memberikan wadah bagi masyarakat pedesaan dengan mendirikan NU”[2]
Nahdlatul Ulama atau kebangkitan ulama merupakan sebuah wadah yang tak sekedar formal organisatoris. Lebih dari itu NU sejak awal berdirinya pada 13 Januari 1926 merupakan payung kultural ulama-ulama Islam yang ada di Indonesia, terutama Jawa yang berbasis pesantren. Sebagaimana namanya, yakni kebangkitan ulama, melalui NU inilah beberapa ulama yang dimotori oleh KH Hasyim As’ari menegaskan komitmennya untuk membangun peradaban masyarakat dengan ideologi ahlusunnah wal jama’ah (jamaah pengikut sunah Rasulullah). Usaha awal dan nyata kalangan ulama NU ini adalah memperjuangkan umat untuk mendapatkan kemerdekaan dari kaum kolonial, serta membangun basis tradisi “pribumisasi Islam” di Indonesia.
Sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dan masyarakat mulai membangun basis basis politik lewat partai. Saat itu Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.[3] Saat itu pula NU secara politis mengintegrasikan diri dengan Masyumi sebagai payung politiknya.
Namun tak seberapa lama, pada tahun 1952, NU yang kurang puas terhadap kepemimpinan politik Masyumi yang dianggap menganaktirikan mereka mengambil langkah berani memisahkan diri dari Partai Masyumi. Akan tetapi Semenjak NU menyatakan diri keluar dari Masyumi di tahun 1952, mulai muncul pula sedikit ketegangan di antara jama’ah NU. Sebagian kecil kader NU yang menempati posisi ‘mapan’ di Masyumi enggan mengikuti seruan KH Wahab Chasbullah.
“Sementara itu terjadi perpecahan antara kaum muslim tradisional dengan modernis di dalam masyumi. Ada banyak alasan, salah satunya perbedaan-perbedaan doktrin yang mendasar dan perselisihan mengenai jabatan menteri agama. Saat itu untuk pertamakalinya sejak tahun 1949 jabatan tersebut dipegang oleh pihak modernis. Sehingga antara bulan april dan agustus 1952 NU menarik diri dari masyumi dan mendirikan partai politik sendiri ynag dipimpin oleh Wachid hasyim”[4]
Perjalanan NU sebagai partai politik terus berlangsung, dan pada tahun 1955 menjadi salah satu kontestan pemilu. Lewat pemilu itu, Partai NU menduduki peringkat ketiga dalam perolehan suaranya setelah PNI dan Masyumi. Dengan berbasis dukungan secara nasional 7 juta suara, dimana 50 persennya didapat dari Jawa Timur. Bahkan Ketika Masyumi menjadi partai terlarang tahun 1960, karena diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera (1958), NU menjadi satu-satunya partai terbesar yang berbasis Islam.[5]
 “Jumlah orang yang hadir dalam pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota DPR pada bulan September 1955 sangat banyak. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91, 5 persen dari para pemilih terdaftar. Hasil pemilu 1955 menempatkan NU diurutan ketiga setelah PNI dan masyumi sebanyak 18,4 persen” [6]
NU akhirnya secara agresif menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Indikator dari hal ini antara lain: 1) perluasan struktur NU di berbagai daerah sebagai tuntutan atas kebutuhan pemilu 1955; 2) peningkatkan infrastruktur organisasi yang berjalan seiring dengan keberadaan politisi-politisi NU di pemerintahan.
Pada masa Orde Lama NU politik memainkan peran kunci dalam menghadapi pergolakan politik yang tengah terjadi. Setidaknya hal ini terlihat dari sepak terjang NU sebagai salah satu tulang punggung “NASAKOM” dalam konteks pengimbangan ideologi dan strategi mempengaruhi, serta peran yang dimainkan dalam fase transisional dari Orde Lama ke Orde Baru (Orba). Selain itu ketika situasi kabinet Koalisi PNI-Masyumi dalam kabinet Wilopo tidak pernah berjalan dengan baik maka NU turut mengambil peran dalam pembentukan kabinet baru.
“Setelah mengadakan perundingan selama lebih dari enam minggu dan melakukan lima kali upaya membentuk gabungan partai, sebuah koalisi PNI yang didukung oleh NU dan partai-partai kecil yang dibentuk oleh Ali Sastroamidjojo” [7]
Diera Orde Lama, NU juga mempertegas wujudnya dalam ranah kepemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang bersifat konstruktif. Seperti penggagasan berdirinya Masjid Istiqlal oleh KH A. Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama saat itu, dan disetujui oleh Soekarno. Penggagasan pendirian IAIN oleh KH Wahib Wahab. Realisasi penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia pada masa Depag dipimpin oleh menteri dari NU, Prof KH Syaifuddin Zuhri. Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an diprakarsai oleh Menag dari NU, KH. M. Dahlan.[8]
Tantangan lain Partai politik NU harus menghadapi permasalahan berat, yaitu makin meluasnya pemberontakan apa yang menyebut dirinya Darul Islam (dunia atau wilayah Islam) atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.[9] Pemberontakan Darul Islam ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia justru karena mengatasnamakan agama Islam. Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954). Pertemuan yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri [10] Dharuri Bis Syaukati yang berarti pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasar Al-Qur’an Surat An-Nisa (4) ayat 59).
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah adalah gerakan politik keislaman yang menentang pemerintahan yang sedang berkuasa. Gelar itu memberikan kemantapan atau kepastian bagi umat Islam untuk mematuhi tindakan pemerintah yang dipimpin Sukarno terhadap DI/TII. Keputusan itu makin diperlukan mengingat Masyumi tidak tegas, bahkan cenderung simpati terhadap gerakan DI/TII.[11]
Setelah pemilihan umum 1955 usai ternyata dewan konstituante tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang dasar negara sehingga kemudian Presiden Sukarno mengatasi dengan Dekrit Kembali ke UUD '45 tanggal 5 Juli 1959. Ketika terlihat tanda-tanda Presiden akan memberlakukan kembali UUD 1945, NU tidak berdiam diri menantikan apa yang akan terjadi. Pada tanggal 26-28 Maret 1958 NU mengadakan Sidang Dewan Partai di Cipanas Bogor, dan berhasil merumuskan usul yang sedikit banyak menyetujui niat Presiden untuk kembali ke UUD 1945.
Dekrit  presiden 2 juli 1959 merupakan langkah  terbaik yang dapat dilakukan untuk meredakan ketegangan dalam konstituante akibat tuntutan gencar kalangan Islam agar negara berlandaskan Islam. Setelah keluar Dekrit yang didukung oleh Angkatan Darat dan disetujui oleh DPR hasil pemilu 1955, maka makin kuatlah kedudukan Presiden Sukarno. Dan dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya, ia mampu mengendalikan semua kekuatan politik.[12]
Dalam upaya untuk mengendalikan kekuatan politik, Sukarno juga mencetuskan gagasan Nasakom (singkatan dari Nas, untuk Nasionalis, A untuk Agama, dan Kom untuk Komunis) untuk menghimpun tiga aliran kekuatan politik kala itu, yang berlandaskan nasionalisme (seperti PNI), Agama (seperti NU) dan Komunis (PKI).
Bagi NU Sulit sekali tantangan yang dihadapi  dengan adanya gagasan Nasakom itu. Bila ia berdiam diri sama dengan membiarkan PKI bertindak makin leluasa. Bila menentang, NU bisa saja dibubarkan seperti nasib Masyumi. Kalau NU ikut serta, dapatkah ia berdampingan dengan PKI yang atheis itu ? Saat itu semua partai khususnya NU harus mengeluarkan segala daya untuk dapat bertahan menghadapi berbagai gebrakan-gebrakan politik pemerintahan Sukarno.
Dalam keadaan yang sangat sulit itu NU lebih cenderung memilih sikap fleksibel agar mampu bertahan hidup. Bertahan hidup akan memberi harapan daripada keras tetapi dengan resiko kematian. Di saat yang sulit itu besar sekali jasa K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), Rois Am, memimpin NU mengatasi tantangan. Beliau  memberikan fatwa :  Jadilah seperti ikan yang hidup! Ikan itu selagi dia masih hidup, masih mempunyai ruh atau nyawa biar dia seratus tahun hidup di laut yang mengandung garam, dia tetap saja tawar dagingnya tidak menjadi asin. Sebabnya karena dia mempunyai ruh, karena dia hidup dengan seluruh jiwa. Sebaliknya kalau ikan itu sudah mati, sudah tidak mempunyai nyawa, tiga menit saja taruh dia di kuali yang bergaram, maka dia akan menjadi asin rasanya.Untuk itu NU mengajukan kaidah menerima Nasakom: "Dar'ul mafaasid moqoddamun ala jalbil mashalih" yang dapat diartikan "menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.''
Sambil bersikap fleksibel dalam percaturan politiknya, NU mengadakan konsolidasi organisasi. Ormas-ormas (organisasi massa) khususnya organisasi pemuda NU (sering disebut Pemuda Ansor disiapkan menghadapi segala kemungkinan akibat ketegangan politis dengan PKI. Sehingga ketika kudeta pecah yang didalangi oleh PKI (G 30 S PKI pada tahun 1965 NU menjadi salah satu pelopor perlawanan.
Saat itu NU yang paling siap secara fisik dan politis dalam aksi penumpasan terhadap PKI. Secara fisik, massa NU dengan gigih turut menumpas PKI baik spontan maupun bersama-sama dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), seperti yang terjadi di Jawa Timur. Dan dalam waktu kurang dari seminggu pada tanggal 5 Oktober 1965 mengeluarkan pernyataan politik yang disebut Resolusi Mengutuk Gestapu yang isinya: 
  1. Memustuskan kepada Presiden agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya membubarkan PKI beserta semua organisasi massanya. 
  2. Memohon kepada Presiden agar mencabut ijin terbit semua surat kabar/pemuda publikasi lainnya yang secara langsung atau tidak langsung membantu kudeta Gerakan 30 September. 
  3. Menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revoulusioner lainnya agar membantu ABRI melaksanakan perintah Presiden dalam menyelesaikan segala akibat yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September.
Beberapa hal diatas itulah yang membuat NU relatif mudah menerima ketentuan pemerintah Soekarno tentang asas Pancasila dalam kehidupan bernegara dewasa itu. Dalam pandangan fikih, asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apa pun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama.
Daftar Pustaka :
Suhartono, (1994). Sejarah Pergerakan nasional, dari budi utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Herbert Faith, (1999). The Indonesian Elections of 1955, Jakarta: KPG
Rickllefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia modern 1200-2008, Jakrata : PT Serambi Ilmu Semesta
Bari Azed dan Makmur Amir, (2005). Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI
Ali Maschan Moesa, (2010). NU Untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk Muktamar NU Ke-32, Surabaya : Pesantren Luhur Al-Husna
C.van Dijk, (1983). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner of Islam, Jakarta: Grafiti Pers
A. Yusuf Ali, (1983). The Holy Qur'an: Translation and Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corp
Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, Prisma, nomor 4, April 1984
Ricklefs, M.C. (1991). A history of Modern Indonesia Since 1200, Stanford University Press
Ahmad Syafii Maarif. (1996). Islam dan Politik : Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta : gema Insani Press
Moh. Mahbub. (1998). Kiprah Politik NU Pasca Khittah : Study hubungan NU dengan negara (dalam perpektif state and civil society), Surabaya : Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Robin Bush. (2002). Nahdlatul Ulama and the struggle for power within Islam and politics in Indonesia, Singapore : ISEAS Publishing
H. A. Nasir Yusuf. (1994). NU dan Rekayasa Politik : Bunga Rampai, Humaniora Utama Press
Ridwan. (2004). Paradigma politik NU:  relasi Sunni-NU dalam pemikiran politik, STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar 



[1] Suhartono, 1994. Sejarah Pergerakan nasional, dari budi utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hlm. 49-50.
[2] Suhartono, Ibid. hlm. 50.
[3] Herbert Faith, 1999. The Indonesian Elections of 1955, Jakarta: KPG, hlm. 84-85
[4] M. C. Rickllefs, 2008. Sejarah Indonesia modern 1200-2008, Jakrata : PT Serambi Ilmu Semesta, hlm. 509.
[5] Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.  Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Dikutip dari karya Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, 2005. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, hlm.106.  
[6] M.C. Ricklefs, 1991. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, hlm. 376-377.
[7] M.C. Ricklefs, Ibid, hlm. 371
[8] Ali Maschan Moesa, 2010. NU Untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk Muktamar NU Ke-32, Surabaya : Pesantren Luhur Al-Husna
[9] C.van Dijk, 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner of Islam, Jakarta: Grafiti Pers, hlm. xvii-xviii.
[10] Waliyul Amri  atau Ulul amri adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Dikutip dari buku karya A. Yusuf Ali, 1983. The Holy Qur'an: Translation and Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corp, hlm. 198
[11] Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, Prisma, nomor 4, April 1984, hlm. 31-38. 
[12] Menurut Sukarno Demokrasi Terpimpin adalah jalan keluar dari sistem Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer) yang telah menyebabkan keadaan politik tidak stabil. Dengan adanya Demokrasi Terpimpin peranan Parlemen berkurang tetapi kekuasaan Presiden makin besar. Dikutip dari karya Karim, Perjalanan, hlm. 140-141. 


================================================================
PERHATIAN !
Buat Sista dan Bunda yang punya masalah seputar  Kecantikan, kewanitaan dan kandungan:
- Jerawat tak kunjung sembuh
- Noda Jerawat yang tak kunjung hilang
- Luka bakar, oprasi yang buat anda ga pede
- Keputihan
- Gatal, gatal, bau tak sedap di mis v
- Kanker servick, miom
- Kegemukan
- Terlalu kurus
- Sudah lama menikah belum HAMIL
Temukan solusinya di tempat kami
Konsultasi GRATIS via sms/wa 085643035547
bb 75966580 

No comments:

Post a Comment