sociopolitica.wordpress.com |
Oleh: Arief Setiyadi
Nahdlatul Ulama (NU)
yang berarti Kebangkitan Ulama sebagai
jam'iyah diniyah (Perkumpulan Keagamaan) didirikan pada 31 Januari
1926. NU didirikan tahun 1926 sebagai organisasi ulama dan para santri di
lingkungan pesantren. Sekalipun basis NU di perdesaan, NU mampu menunjukkan
kekuatannya dalam bidang politik. Selama Perang Dunia II misalnya, karena
kekuatan politiknya, penguasa Jepang mendudukkan Rais Am NU sebagai Kepala
Shumubu’ (Kantor Nasional Urusan Agama). Setelah kemerdekaan, jabatan menteri
agama hampir selalu menjadi jatah NU di pemerintahan.[1]
“Sehubungan
dengan makin meluasnya gerakan Islam baru di kota-kota seperti yang dilakukan
oleh SI dan Muhammadiyah secara tidak langsung mengurangi ruang gerak umat
Islam di pedesaan. Di samping itu pada tahun 1926 akan diadakan kongres Islam
sedunia di Hijaz, sehingga para ulama bersepakat untuk menampung dan memberikan
wadah bagi masyarakat pedesaan dengan mendirikan NU”[2]
Nahdlatul Ulama atau kebangkitan ulama merupakan sebuah wadah yang tak sekedar formal
organisatoris. Lebih dari itu NU sejak awal berdirinya pada 13 Januari 1926
merupakan payung kultural ulama-ulama Islam yang ada di Indonesia, terutama
Jawa yang berbasis pesantren. Sebagaimana namanya, yakni kebangkitan ulama,
melalui NU inilah beberapa ulama yang dimotori oleh KH Hasyim As’ari menegaskan
komitmennya untuk membangun peradaban masyarakat dengan ideologi ahlusunnah wal jama’ah (jamaah pengikut
sunah Rasulullah). Usaha awal dan nyata kalangan ulama NU ini adalah
memperjuangkan umat untuk mendapatkan kemerdekaan dari kaum kolonial, serta
membangun basis tradisi “pribumisasi Islam” di Indonesia.
Sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan dan masyarakat mulai membangun
basis basis politik lewat partai. Saat itu Indonesia menganut sistem multi
partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai
dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang
berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol
dan juga terdapat peserta perorangan.[3] Saat
itu pula NU secara politis mengintegrasikan diri dengan Masyumi sebagai payung
politiknya.
Namun tak seberapa lama, pada tahun 1952, NU yang kurang
puas terhadap kepemimpinan politik Masyumi yang dianggap menganaktirikan mereka
mengambil langkah berani memisahkan diri dari Partai Masyumi. Akan tetapi Semenjak NU menyatakan
diri keluar dari Masyumi di tahun 1952, mulai muncul pula sedikit ketegangan di
antara jama’ah NU. Sebagian kecil kader NU yang menempati posisi ‘mapan’ di
Masyumi enggan mengikuti seruan KH Wahab Chasbullah.
“Sementara
itu terjadi perpecahan antara kaum muslim tradisional dengan modernis di dalam
masyumi. Ada banyak alasan, salah satunya perbedaan-perbedaan doktrin yang
mendasar dan perselisihan mengenai jabatan menteri agama. Saat itu untuk
pertamakalinya sejak tahun 1949 jabatan tersebut dipegang oleh pihak modernis.
Sehingga antara bulan april dan agustus 1952 NU menarik diri dari masyumi dan
mendirikan partai politik sendiri ynag dipimpin oleh Wachid hasyim”[4]
Perjalanan NU sebagai partai politik terus berlangsung, dan pada tahun 1955
menjadi salah satu kontestan pemilu. Lewat pemilu itu, Partai NU menduduki
peringkat ketiga dalam perolehan suaranya setelah PNI dan Masyumi. Dengan
berbasis dukungan secara nasional 7 juta suara, dimana 50 persennya didapat
dari Jawa Timur. Bahkan Ketika Masyumi menjadi partai terlarang
tahun 1960, karena diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera (1958), NU menjadi satu-satunya
partai terbesar yang berbasis Islam.[5]
“Jumlah orang yang hadir dalam pemilihan umum
untuk memilih anggota-anggota DPR pada bulan September 1955 sangat banyak.
Lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91, 5 persen dari para
pemilih terdaftar. Hasil pemilu 1955 menempatkan NU diurutan ketiga setelah PNI
dan masyumi sebanyak 18,4 persen” [6]
NU akhirnya secara
agresif menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Indikator dari hal ini
antara lain: 1) perluasan struktur NU di berbagai daerah sebagai tuntutan atas
kebutuhan pemilu 1955; 2) peningkatkan infrastruktur organisasi yang berjalan
seiring dengan keberadaan politisi-politisi NU di pemerintahan.
Pada masa Orde Lama NU
politik memainkan peran kunci dalam menghadapi pergolakan politik yang tengah
terjadi. Setidaknya hal ini terlihat dari sepak terjang NU sebagai salah satu
tulang punggung “NASAKOM” dalam konteks pengimbangan ideologi dan strategi
mempengaruhi, serta peran yang dimainkan dalam fase transisional dari Orde Lama
ke Orde Baru (Orba). Selain itu ketika situasi kabinet Koalisi PNI-Masyumi
dalam kabinet Wilopo tidak pernah berjalan dengan baik maka NU turut mengambil
peran dalam pembentukan kabinet baru.
“Setelah
mengadakan perundingan selama lebih dari enam minggu dan melakukan lima kali
upaya membentuk gabungan partai, sebuah koalisi PNI yang didukung oleh NU dan
partai-partai kecil yang dibentuk oleh Ali Sastroamidjojo” [7]
Diera Orde Lama, NU juga
mempertegas wujudnya dalam ranah kepemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang
bersifat konstruktif. Seperti penggagasan berdirinya Masjid Istiqlal oleh KH A.
Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama saat itu, dan disetujui oleh Soekarno.
Penggagasan pendirian IAIN oleh KH Wahib Wahab. Realisasi penerjemahan
Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia pada masa Depag dipimpin oleh menteri dari
NU, Prof KH Syaifuddin Zuhri. Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an
diprakarsai oleh Menag dari NU, KH. M. Dahlan.[8]
Tantangan lain Partai politik NU harus menghadapi permasalahan berat, yaitu
makin meluasnya pemberontakan apa yang menyebut dirinya Darul Islam (dunia atau wilayah Islam) atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa
disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo.[9] Pemberontakan
Darul Islam ini bukan hanya
membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang
sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam
di negara Republik Indonesia justru karena mengatasnamakan agama Islam. Apalagi
karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia,
maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal itu
mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu mengundang para ulama dari
seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno
dalam pandangan keagamaan (Islam).
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di
Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954). Pertemuan yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu
memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri [10]
Dharuri Bis Syaukati yang berarti pemerintah yang sekarang ini
sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasar Al-Qur’an Surat An-Nisa (4) ayat
59).
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya
sebab yang dihadapi pemerintah adalah gerakan politik keislaman yang menentang
pemerintahan yang sedang berkuasa. Gelar itu memberikan kemantapan atau kepastian
bagi umat Islam untuk mematuhi tindakan pemerintah yang dipimpin Sukarno
terhadap DI/TII. Keputusan itu makin diperlukan mengingat Masyumi tidak tegas,
bahkan cenderung simpati terhadap gerakan DI/TII.[11]
Setelah pemilihan umum 1955 usai ternyata dewan konstituante tidak berhasil
mencapai kesepakatan tentang dasar negara sehingga kemudian Presiden Sukarno
mengatasi dengan Dekrit Kembali ke UUD '45 tanggal 5 Juli 1959. Ketika terlihat tanda-tanda Presiden akan
memberlakukan kembali UUD 1945, NU tidak berdiam diri menantikan apa yang akan
terjadi. Pada tanggal 26-28 Maret 1958 NU mengadakan Sidang Dewan Partai di Cipanas
Bogor, dan berhasil merumuskan usul yang sedikit banyak menyetujui niat Presiden
untuk kembali ke UUD 1945.
Dekrit presiden 2 juli 1959
merupakan langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk meredakan ketegangan
dalam konstituante akibat tuntutan gencar kalangan Islam agar negara
berlandaskan Islam. Setelah keluar Dekrit yang didukung oleh Angkatan Darat dan
disetujui oleh DPR hasil pemilu 1955, maka makin kuatlah kedudukan Presiden
Sukarno. Dan dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya, ia mampu mengendalikan
semua kekuatan politik.[12]
Dalam upaya untuk mengendalikan kekuatan politik, Sukarno juga mencetuskan
gagasan Nasakom (singkatan dari Nas, untuk Nasionalis, A untuk Agama, dan Kom
untuk Komunis) untuk menghimpun tiga aliran kekuatan politik kala itu, yang
berlandaskan nasionalisme (seperti PNI), Agama (seperti NU) dan Komunis (PKI).
Bagi NU Sulit sekali tantangan yang dihadapi dengan adanya gagasan Nasakom itu. Bila ia
berdiam diri sama dengan membiarkan PKI bertindak makin leluasa. Bila
menentang, NU bisa saja dibubarkan seperti nasib Masyumi. Kalau NU ikut serta,
dapatkah ia berdampingan dengan PKI yang atheis itu ? Saat itu semua partai
khususnya NU harus mengeluarkan segala daya untuk dapat bertahan menghadapi
berbagai gebrakan-gebrakan politik pemerintahan Sukarno.
Dalam keadaan yang sangat sulit itu NU lebih cenderung memilih sikap
fleksibel agar mampu bertahan hidup. Bertahan hidup akan memberi harapan
daripada keras tetapi dengan resiko kematian. Di saat yang sulit itu besar
sekali jasa K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), Rois Am, memimpin NU
mengatasi tantangan. Beliau memberikan
fatwa : Jadilah seperti ikan yang hidup! Ikan itu selagi dia masih hidup,
masih mempunyai ruh atau nyawa biar dia seratus tahun hidup di laut yang
mengandung garam, dia tetap saja tawar dagingnya tidak menjadi asin.
Sebabnya karena dia mempunyai ruh, karena dia hidup dengan seluruh jiwa.
Sebaliknya kalau ikan itu sudah mati, sudah tidak mempunyai nyawa, tiga menit
saja taruh dia di kuali yang bergaram, maka dia akan menjadi asin rasanya.Untuk
itu NU mengajukan kaidah menerima Nasakom: "Dar'ul mafaasid moqoddamun
ala jalbil mashalih" yang dapat diartikan "menghindari kerusakan
lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.''
Sambil bersikap fleksibel dalam percaturan politiknya, NU mengadakan
konsolidasi organisasi. Ormas-ormas (organisasi massa) khususnya organisasi
pemuda NU (sering disebut Pemuda Ansor
disiapkan menghadapi segala kemungkinan akibat ketegangan politis dengan PKI.
Sehingga ketika kudeta pecah yang didalangi oleh PKI (G 30 S PKI pada tahun
1965 NU menjadi salah satu pelopor perlawanan.
Saat itu NU yang paling siap secara fisik dan politis dalam aksi penumpasan
terhadap PKI. Secara fisik, massa NU dengan gigih turut menumpas PKI baik
spontan maupun bersama-sama dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia), seperti yang terjadi di Jawa Timur. Dan dalam waktu kurang dari
seminggu pada tanggal 5 Oktober 1965 mengeluarkan pernyataan politik yang
disebut Resolusi Mengutuk Gestapu yang isinya:
- Memustuskan kepada Presiden agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya membubarkan
PKI beserta semua organisasi massanya.
- Memohon kepada Presiden agar mencabut ijin terbit semua surat kabar/pemuda
publikasi lainnya yang secara langsung atau tidak langsung membantu kudeta
Gerakan 30 September.
- Menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revoulusioner lainnya
agar membantu ABRI melaksanakan perintah Presiden dalam menyelesaikan
segala akibat yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September.
Beberapa hal diatas itulah yang membuat NU relatif mudah menerima ketentuan
pemerintah Soekarno tentang asas Pancasila dalam kehidupan bernegara dewasa itu.
Dalam pandangan fikih, asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah
persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya
persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apa pun
untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama.
Daftar Pustaka :
Suhartono,
(1994). Sejarah Pergerakan nasional, dari
budi utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Herbert Faith, (1999). The
Indonesian Elections of 1955, Jakarta: KPG
Rickllefs,
M. C. (2008). Sejarah Indonesia modern
1200-2008, Jakrata : PT Serambi Ilmu Semesta
Bari Azed dan Makmur Amir, (2005). Pemilu
dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI
Ali Maschan Moesa, (2010). NU Untuk Siapa?
Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk Muktamar NU Ke-32, Surabaya : Pesantren
Luhur Al-Husna
C.van Dijk, (1983). Darul Islam:
Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner of
Islam, Jakarta: Grafiti Pers
A. Yusuf Ali, (1983). The Holy
Qur'an: Translation and Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corp
Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, Prisma,
nomor 4, April 1984
Ricklefs,
M.C. (1991). A history of Modern
Indonesia Since 1200, Stanford University Press
Ahmad
Syafii Maarif. (1996). Islam dan Politik
: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta : gema
Insani Press
Moh.
Mahbub. (1998). Kiprah Politik NU Pasca
Khittah : Study hubungan NU dengan negara (dalam perpektif state and civil
society), Surabaya : Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Robin
Bush. (2002). Nahdlatul Ulama and the
struggle for power within Islam and politics in Indonesia, Singapore :
ISEAS Publishing
H.
A. Nasir Yusuf. (1994). NU dan Rekayasa
Politik : Bunga Rampai, Humaniora Utama Press
Ridwan. (2004). Paradigma politik NU: relasi Sunni-NU dalam pemikiran politik,
STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar
[1] Suhartono, 1994. Sejarah Pergerakan nasional, dari budi utomo
sampai Proklamasi 1908-1945, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hlm. 49-50.
[4] M. C. Rickllefs, 2008. Sejarah Indonesia modern 1200-2008,
Jakrata : PT Serambi Ilmu Semesta, hlm. 509.
[5] Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres
No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10
partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai
berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan. Dikutip dari karya Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, 2005. Pemilu
dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, hlm.106.
[6] M.C. Ricklefs, 1991. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta :
Gajah Mada University Press, hlm. 376-377.
[8]
Ali
Maschan Moesa, 2010. NU Untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk
Muktamar NU Ke-32, Surabaya : Pesantren Luhur Al-Husna
[9] C.van Dijk, 1983. Darul
Islam: Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner
of Islam, Jakarta: Grafiti Pers, hlm. xvii-xviii.
[10] Waliyul Amri atau Ulul amri adalah
orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau
penyelesaian urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima
kekuasaan dari Dia.
Dikutip dari buku karya A. Yusuf Ali, 1983. The Holy Qur'an: Translation and
Commentary, Brentwood, Maryland: Amana Corp, hlm. 198
[11] Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia
Dewasa Ini, Prisma, nomor 4, April 1984, hlm. 31-38.
[12] Menurut Sukarno Demokrasi
Terpimpin adalah jalan keluar dari sistem Demokrasi Liberal (Demokrasi
Parlementer) yang telah menyebabkan keadaan politik tidak stabil. Dengan adanya
Demokrasi Terpimpin peranan Parlemen berkurang tetapi kekuasaan Presiden makin
besar. Dikutip dari karya Karim, Perjalanan, hlm. 140-141.
================================================================
PERHATIAN !
Buat Sista dan Bunda yang punya masalah seputar Kecantikan, kewanitaan dan kandungan:
- Jerawat tak kunjung sembuh
- Noda Jerawat yang tak kunjung hilang
- Luka bakar, oprasi yang buat anda ga pede
- Keputihan
- Gatal, gatal, bau tak sedap di mis v
- Kanker servick, miom
- Kegemukan
- Terlalu kurus
- Sudah lama menikah belum HAMIL
Temukan solusinya di tempat kami
Konsultasi GRATIS via sms/wa 085643035547
bb 75966580
No comments:
Post a Comment