citratus.blogspot.com |
Entah kenapa banyak manusia yang
lebih banyak berkata dari pada bekerja. Pun halnya banyak orang yang lebih suka
mengritik dari pada intropeksi dirinya terlebih dahulu. Atau juga orang mungkin
lebih suka berbicara dari pada merangkainya menjadi tulisan. Mungkin karena
bahasa lisan adalah bahasa yang paling mudah dicerna oleh otak manusia.
Sejarah memang membuktikan
tokoh-tokoh besar yang mampu memberikan pengaruh tak bisa dilepaskan dari
kemampuan retorikanya di depan pablik. Seolah ketika mereka sedang berorasi
semua mata dan telinga terhipnotis akan keanggunan dan ketegasan tutur katanya.
Sebutlah baginda Nabi SAW yang mampu memukau dan menggelorakan semangat para
sahabat untuk senantiasa teguh memegang Islam walau dalam keadaan terjepit dan
tertindas.
Sebutlah soekarno presiden pertama
republik ini yang mampu memukau dunia internasional melalui retorika dan sikap
berani berbeda. Tak khayal ketika pembukaan konfrensi asia afrika pasca beliau
berorasi, tepuk tangan para hadiri bergemuruh sampai lima menit.
Itulah kehebatan bahasa lisan. Bahasa yang
dapat memukau setiap mata dan telinga yang mendengar. Bahasa yang mudah
dimengerti ketika kita mampu mengambil pesan yang ada di dalamnya. Namun ketika
kita ditanyakan sampai kapan lisan ini bisa berbicara?
Disaat gigi yang rapi itu sudah mulai
tanggal satu demi satu. Entah dari geraham, depan maupun bawah. Perlahan lekuk
wajah pun mulai tertarik membekas lekukan dan kerut baru di pipi. Saat itu
bisakah kita mengucapkan semua kata dengan jelas seperti sebelumnya? Bisakah
kita menyampaikan semua ilmu dan gagasan kepada orang lain? Atau nyaman tidak
ketika orang lain mendengar setiap kata yang tidak bisa kita ucapkan dengan
sepurna?
Inilah sunatullah kehidupan saudaraku.
Pada masanya nanti sosok yang gagah dan hebat dalam beretorika itu akan kembali
seperti kanak-kanak. Masa terakhir dimana kita akan dipanggil kembali menemui
Rabb pencipta.
Dimasa inilah kita dituntut untuk tidak
menjadi orang yang banyak berkata akan tetapi banyak berbuat. Menyiapkan
semuanya untuk kehidupan akherat yang kekal abadi. Bisa jadi dimasa muda kita
terlampau asyik menikmati perhiasan dunia. Dimasa inilah kesempatan terakahir
kita memperbaiki semuanya.
Mendekat dan senantiasa bermunajat
kepada Allah, Rabb yang telah memberi kita kehidupan. Melupakan semua perhiasa
dunia yang tidak membawa kebaikan dalam diri kita. Belajar menyadari dosa-dosa
masa lalu dan mencoba menghapusnya dengan kebaikan-kebaikan. Meski tak bisa
semuanya, tapi paling tidak ikhtiar kita yang akan menjadi saksi pembelaan
kelak ketika lisan tak mampu bicara.
Ketika jatah usia di dunia ini usai.
Maka usai sudah kesempatan kita mencari bekal untuk kehidupan akherat.
Terkecuali ada karya besar atapun sedikit kebaikan yang kita tinggalkan untuk
orang lain yang semoga tetap mengalir pahalanya. Akan tetapi jika semua karya
besar atau kebaikan kecil itu tidak ada, apa yang bisa kita lakukan.
.....
Ketika tanganmu ditanya oleh Rabbmu.
Tuhan : Wahai tangan siapa yang dahulu menyuruhmu
mengambil uang rakyat
Lisan : Saat itu mau membela, pimpinan saya yang
menyuruhnya. Akan tetapi sayang lisan
saat itu tak mampu berucap
Tangan : Dia yang ada dihadapan-Mu ya Rabb
yang menyuruh aku untuk mengambil uang itu
Tuhan : Memang untuk apa uang itu wahai tangan?
Otak : Hawa nafsunya mengatakan kepadaku untuk
bermegah-megahan perhiasan dunia
.....
Ketika kaki itu ditanya oleh Rabbmu.
Tuhan : Wahai kaki, kemana engkau membawa badanmu
pergi ketika adzan memanggilmu?
Lisan : Seolah mau membela, saat itu ada urusan
penting yang harus aku selesaikan. Akan
tetapi sayang saat itu lisan tak mampu berucap.
Kaki : Aku disuruh untuk datang menemui temannya
ya Rabb
Tuhan : Memang tidak bisa setelah engkau menjalankan
shalat?
Hati : Hawa nafsunya yang telah membuat tuli dan
lali akan penggilan-Mu ya Rabb
.....
Ketika mata itu ditanya oleh Rabbmu
Tuhan : Wahai mata, berapa kali kau digunakan untuk
membaca ayat-ayatKu
Lisan : Seolah mau membela, setiap hari aku menggunakanya
untuk membaca Al-Qur’an
dan
memahami kehidupan ini. Akan tetapi sayang saat itu lisan tak mampu berucap.
Mata : Aku tidak pernah digunakan untuk membaca
Al-Qur’an, aku lebih sering digunakan
untuk membaca koran dan keindahan tubuh wanita.
Tuhan : Memang engkau tidak takut akan azabku untuk
orang yang bermaksiat?
Hati : Hawa nafsunya yang tak mampu dibendung
dengan keimanannya ya Rabb
.....
Ketika telinga itu di tanya oleh Rabbmu
Tuhan : Wahai telinga, dengarkah engkau ketika
anak-anak yatim dan tetanggamu menagis
kelaparan?
Lisan : Seolah mau membela, aku mendengar, tapi
saat itu uangku untuk simpanan sekolah
anaku sendiri. Akan tetapi saat itu lisan tak mampu berucap.
Telinga:
Aku mendengarnya, tapi aku disuruh mengabaikan ya Rabb
Tuhan : Memang tidak bisa engkau menyisihkan barang
sedikit uangmu untuk mereka?
Hati : Dia takut miskin dan hari esok tidak bisa
makan serta tak percaya akan kebesaranmu
yang
menjamin setiap rizki bagi makhluk yang bernyawa ya Rabb
.....
Begitulah
lisan
Yang
bisa berkata dusta di dunia ini
Namun
tak mampu berbuat banyak ketika Allah menghakimi setiap anggota tubuh kita
Karena
Allah mengetahui banyak dusta di lisan kita
....
Begitulah
tabiat lisan
Seolah
kita ingin selalu dianggap benar
Menyampaikan
seribu alasan untuk membela kita
Padahal
kita tak ada bedanya dengan pembual
....
Begitulah
sebatas kemampuan lisan
Di
dunia ini kita bisa bersua apa saja
Tak
peduli apa itu benar atau tidak
Apa
ada yang tersakiti atau tidak
Tapi
di hadapan peradilan Rabbnya terkuci tak berdaya
....
Inilah
keagungan Rabb manusia
Sudah
tahu akan kedustaan lisan
Maka
Allah menguncinya
Agar
tak membual seperti saat di dunia
....
Inilah
keadilan Rabb Manusia
Sudah
tahu lisan itu selalu ingin terlihat baik
Maka
Allah menyuruh tangan, kaki, mata, telinga, hati dan yang lain untuk berbicara
Sekali
lagi bukan lisan yang sering membual yang disuruh menjawab
....
Wahai
engkau para lisan yang sering membual
Sebelum
semua terlambat
Sebelum
engkau terkuci
Sebelum
engkau di hizab dan tak ada yang membelanya
Sebelum
engkau mendapar azab Rabbmu
....
Banyaklah
muhasabah diri dari pada mengkritik orang lain
Banyaklah
menasehati diri sebelum menasehati orang lain
Banyaklah
berbuat dari pada engkau berbicara
Karena
satu teladan lebih baik dari seribu nasehat
By.
Rief_fatih, Mutiara Kehidupan, 05 Maret 2012
No comments:
Post a Comment