Labels

Wednesday, 18 January 2012

PAHLAWAN itu kupanggil Ibu


ruanghati.com
Sang Surya kala itu mulai tenggelam, langit pun tampak semakin kemerahan dan tidak terlalu lama petang pun menghampiri. Gema Ilahi terdengar syahdu di setiap menara masjid, sementara hilir mudik para petani mulai memasuki rumahnya. Seolah tidak mau ketinggalan serangga-serangga kecil turut bersuara menambah hangatnya suasana petang itu.
Langit malam semakin menunjukan tabiatnya seolah memberikan tanda bahwa hari ini sudah usai waktu untuk bekerja. Medekatlah dan memujilah kepada sang Khalik atas  apa yang telah kau dapatkan hari ini. Sementara itu rembulan malam mulai muncul menunjukan keagungan Ilahi, bintang-bintang yang bertabur disetiap sisi semakin menambah bahagia setiap jiwa.

Sementara itu terdengar suara gemecik air dari sebuah rumah yang nampak sederhana. Hanya ada sedikit cahaya yang menunjukan bahwa itu adalah rumah yang berpenghuni. Memang hanya ada seorang ibu dan anaknya yang tinggal dirumah tersebut. Suasanaya nampak lengang, tidak ada suara televisi ataupun radio. Selang tidak begitu lama, suara gemercik air itu perlahan mulai sirna. Terdengarlah suara takbir dan rangkaian lantunan dzikir ilahi. Ternyata sang ibu tadi sedang shalat. Menunjukan sebagai hamba yang bersyukur dan memuji kepada Tuhanya dengan ketulusan.

Suasana langit malam saat itu semakin merekah dan menenangkan setiap jiwa yang ada disana. Seolah sebagai tanda penyambutan seorang hamba yang memuji tuhannya. Terlihat tenang nan khusuk sang ibu menjalakan ibadahnya, jasad yang renta tak menghalanginya untuk menunjukan baktinya kepada sang pemilik hidup. Disampingnya terbujur lemas seorang anak laki-laki semata wayangya yang seolah ingin mengikuti setiap gerakan yang dilakukan sang ibu.

Namun ternyata tubuh sang anak tak mampu, hanya terlihat jelas isyarat matanya yang dengan seksama memperhatikan setiap gerakan sang ibu. Lisannya terlihat mengikuti lantunan kalam ilahi yang dibacakan ibunya. Sejak kecil anak itu memang menderita lumpuh akibat kecelakaan. Kedua kakinya terpaksa harus diamputasi karena luka yang cukup parah. Sekitar 10 tahun silam dikala sang anak mau berangkat sekolah peristiwa kecelakaan itu terjadi. Semua terhentak, tiada yang mengira dan menduga peristiwa itu berlangsung begitu cepat. Deru laju sebuah truk yang sangat kecang dengan kuat menabrak tubuh kecil nan mungil sang anak hingga terpental berpuluh meter.

Hari itu adalah hari yang memilukan bagi sang anak, hari dimana masa depan anak itu mulai pupus. Mimpi yang dulu melambung tinggi, mulai hari itu tiada berarti dan seolah menjadi angin lalu. Terlebih setelah dia sadar dan mengetahui kedua kakinya sudah tidak ada. Kaki yang selama ini menopangnya untuk menjelajah dunia dan mengejar pelangi kehidupan. Sang anak bingung dan berontak, bertanya kepada semua orang disekitarnya, Ibu, dimaka kakiku? Ibu dimana....dimana..kakiku ibu? Derai air mata tak dapat dibendung dari pelupuk matanya, demikian halnya dengan semua orang yang hadir kala itu. Semua orang tidak bisa berkata, hanya bahasa tangis yang mewakili jawaban mereka.

Hati sang ibu remuk tak berdaya, tak mampu berucap, hanya pelukan erat yang bisa mewakili rasa cintanya. Kini tubuh nan mungil anak semata wayangnya tegeletak tak berdaya. Tubuh yang terbiasa bermain bersama rekan-rekan seusianya itu kini tak mampu betumpu sendiri. Seperti itulah malam-malam yang dilalui sang anak dan ibunya. Tubuh sang anak yang semakin besar dan berat untuk dirawat, sementara tubuh sang ibu yang semakin tua dan renta.

Disisa usianya sang ibu tidak pernah menunjukan kelemahanya di depan sang anak. Sikap tegar dan optimis yang selalu ia tanamkan kepada sang anak. Tegar untuk menhadapi kondisi yang ada dan optimis untuk menatap masa depan. Sang Ibu sadar, bahwa tidak akan lama lagi ia bisa bertahan hidup dan merawat anaknya. Satu-satunya bekal yang bisa ia tinggalkan adalah sikap optimis untuk bertahan hidup.

Sang ibu memang bukan orang yang terdidik, akan tetapi beliau orang yang cerdas memahami kehidupan. Dengan keterbatasa sang anak yang tidak bisa banyak bergerak. Sang ibu membelajarkan buah hatinya di tempat kursus elektronik. Ditempat itulah sang anak ditempa ketrampilanya untuk belajar memperbaiki segala jenis barang elektronik. Inilah upaya terakhir yang dilakukan oleh ibu sang pahlawan yang kemudian menjadi bekal sang anak kelak.

Usianya yang semakin senja dan tubuhnya yang semakin rapuh tak mampu lagi bertahan. Malam itu selepas sang ibu mengucapkan salam di akhir shalatnya tubuh renta itu tak bergerak kembali. Ibu yang selama ini merawat sang anak kini telah tiada. Seolah tak percaya dan tak rela sang anak mulai menagis tersedu. Namun itu tidak belangsung lama, karena jiwa optimisme yang sudah dibangun oleh sang ibu sudah melekat dalam qalbunya.

Sang anak yakin bahwa inilah jalan terbaik untuk dia dan ibunya. Jasadnya yang sudah rapuh tak akan tega ia melihat sang ibu bersusah payah merawatnya. Kini saatnya melanjutkan hidup, karena ibu sang pahlawan tetap ada dalam hatiku, menjadi pengobar semangat dan ispirasi disaat aku ragu untuk melangkah. Untuk mu ibu pahlawanku, ku yakin Allah sudah menempatkamu di tempat yang terbaik, ku yakin engkau bahagia disana, ku yakin sekarang kau sedang tersenyum melihat anakmu, seperti senyum manis yang kau tinggalkan disaat ajal menjemputmu.
Penulis: Rief_fatih

No comments:

Post a Comment