mutiarakehidupanku.blogspot.com |
Malu dan Iman ibarat dua sisi mata uang
yang berbeda. Karena malu itu sendiri bagian dari Iman dan iman itu sendiri
dicerminkan salah satunya dengan rasa malu. Baginda Nabi SAW bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian
atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha
illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan
dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Malu dan iman tidak bisa kita pisahkan satu sama lain,
karena merupakan
sebuah kesatuan. Dimana ada malu dihati seseorang berarti ada iman di hatinya.
Demikian sebaliknya ketika ada iman dihatinya pasti ada malu dihatinya pula.
Baik malu kepada Allah SWT maupun malu kepada sesama manusia. Sebagaimana sabda
baginda nabi SAW “Malu dan
iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut
hilang.” (HR. Bukhari dan Al-Hakim)
Bahkan rasa malu menjadi salah satu indikasi akan dihancurkannya sebuah bangsa. Rasa malu
menjadi tolak ukur sejauh mana sebuah bangsa beriman kepada Allah dan Rasulnya
atau tidak. Kita
bisa melihat sejarah peradaban sebuah kaum yang dilaknat oleh Allah karena yang
dengan terang-terangan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana di jelaskan dalam
firman Allah SWT, “Belumkah
datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka,(yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim,
penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri
yang telah musnah?. Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawaketerangan
yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi
merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”(QS. At-Taubah: 70)
Sahabat
Nabi Salman Al-Farisi pernah berkata,“Sungguh jika Allah berkehendak untuk
membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang
tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai
orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan
hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi
memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan
dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa
kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah
itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.” (Baca pula QS. Qaf: 36)
Pada hakekatnya kadar keimanan seseorang
dapat diukur dengan melihat seberapa kuat keteguhannya dalam memegang etika
malu. Semakin kuat rasa malu seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang
kurang baik, apalagi perbuatan haram, maka semakin kuat pula keimanannya.
Sebaliknya jika seseorang sudah tidak malu lagi melakukan kemaksiatan, maka
dapat dipastikan, keimanannya pun sangat lemah. Sebagaimana sabda baginda Nabi
SAW “Rasa malu
itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim ). Kemudian diriwayatnya yang
lain baginda nabi SAW bersabda “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau
rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)
Mengukur iman dengan rasa malu ini
adalah suatu keniscayaan. Karena keimanan adalah perbuatan hati yang tidak
dapat diketahui oleh orang lain, kecuali jika sudah divisualisasikan dengan
perbuatan. Dari perbuatan itu kita dapat mengetahui kadar keimanan. Sedangkan
perbuatan itu sangat ditentukan oleh rasa malu. Seseorang tidak akan mau
melakukan sesuatu jika masih malu, tapi jika rasa malunya sudah tidak ada maka
ia berani melakukan perbuatan itu. Jadi malu adalah refleksi dari iman. Sebagaiman
sabda baginda Nabi SAW “Malu itu sebagian
daripada Iman, dan Iman menyebabkan seseorang masuk syurga” (HR. Tirmizi)
Dalam kontek kekinian, rasa malu tetap
menjadi relevan untuk kita bicarakan. Khususnya untuk wahai kalian para laki-laki
yang mengaku Muslim. Saat ini kita sering menjumpai orang yang beriman hanya
sebatas di hati dan lisan mereka semata. Mereka percaya Islam adalah jalan
hidup dan keselamatan dan lisan mereka pun mengatakan, akan tetapi sikap dan
perbuatan mereka jauh dari cerminan seorang Muslim.
Mereka melakukan shalat tapi maksiat
jalan terus. Mereka berpuasa tapi tak bisa melawan syahwat dunia. Mereka
bersedekah tapi masih suka mengambil hak orang lain. Mereka berhaji tapi
kelakuanya belum mencerminkan seorang haji.
Di masjid mereka terlihat khusuk shalat,
tapi di pasar seperti lintah darat. Di keluarga mereka nampak baik tapi di luar
sana seperti penjahat. Di depan pimpinannya mereka nampak begitu taat tapi
sebetulnya mereka penjilat. Bahkan didepan lingkunganya mereka nampak alim dan
shaleh tapi diluar sana nampak keburukan akhlaknya.
Kebanyakan manusia tak mampu menjaga
keimananan melalui rasa malu kepada Allah SWT. Sungguh hal itu masih sering dilakukan
oleh kebanyakan manusia yang lalai dibuai perhiasan dunia. Memudarnya rasa malu
adalah penyebab tumbuh subur bibit-bibit kemaksiatan dalam diri manusia. Rasa
malu sudah tidak bisa lagi menjadi perisai seseorang melakukan kemaksiatan. Kalau
sudah seperti itu, maka sudah dapat dipastikan keimanan mereka bermasalah dan
kalau kita tidak mau berbenah, maka tunggulah sampai Allah akan mendatangkan
keputusan-Nya.
Dalam realitas yang lebih sempit kita
bisa melihat peran yang seharusnya di lakukan oleh seorang laki-laki. Pembahasan
ini cukup relevan ketika kita mengaitkan antara rasa malu dan peran yang
seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki. Sebelum kita membahas lebih jauh
saya rasa sahabat-sahabat sepakat bahwa kita sebagai laki-laki adalah Imam
(pemimpin) baik dilingkungan keluarga ataupun masyarakat.
Dewasa ini dengan semakin berkembangnya
paham Feminisme mulai terlihat pergeseran peran seorang laki-laki diambil alih
oleh seorang perempuan. Sekarang banyak kita jumpai pimpinan perusahaan seorang
perempuan, kepala sekolah perempuan, mentri perempuan bahkan presiden pun
perempuan. Sadar atau tidak sadar kenyataan itulah sekarang yang sedang
terjadi.
Emansipasi wanita menjadi payung hukum
bagi para wanita untuk mengambil peran yang lebih besar dalam kehidupan.
Sementara laki-laki semakin lama perannya semakin tereduksi. Bahkan banyak juga
yang istrinya bekerja sementara yang suami mengurus anak dirumah. Kalau sudah
seperti ini siapa yang salah? Mana jiwa seorang lelaki yang disebut sebagai
pemimpin?
Tak ada yang salah sahabat-sahabat
semua. Bagi para wanita tak ada salahnya mereka mengambil peran lebih asalkan
tugas utamanya sebagai istri atau ibu bagi anak-anaknya dapat ditunaikan dengan
baik. Akan tetapi bagi laki-laki apakah tidak malu jika istrinya harus lelah-lelah
bekerja, sementara kita sebagai laki-laki berpangku tangan dan hanya mengurus
pekerjaan rumah?
Atau dalam tingkatan yang lebih tinggi. Apakah
tidak malu kalau kita sudah bekerja akan tetapi istri kita juga masih bekerja. Di
mana tanggung jawab kita sebagai laki-laki yang berkewajiban memenuhi kebutuhan
anak dan Istri. Dimana hak anak-anak kita tempatkan ketika mereka membutuhkan
seorang ibu yang senantiasa memperhatikan dan membimbing mereka. Hanya nurani
kita masing-masing yang bisa menjawab sahabat-sahabat semua.
Sehingga sudah cukup jelas peran besar
apa yang akan dilakukan sebagai seorang laki-laki pada saatnya nanti. Saat kita
harus hidup berumah tangga, saat kita harus hidup bermasyarakat dan saat dimana
kita harus memenuhi setiap hak mereka. Semuanya itu membutuhkan persiapan mulai
saat ini. Saat dimana semuanya belum terlambat untuk menatap rencana hidup kita
kedepan.
.....
Malu
begitu malu ketika Allah melihatku
Melihat
aku yang tak syukur nikmat
Melihat
aku yang senantiasa lalai
Lalai
bergelimang kemaksiatan
Lalai
berbangga diri
.....
Padahal
semuanya itu kepunyaan Allah
Aku
hanya makhluk yang nista dan hina
Namun
kenapa aku tak pernah sadar untuk malu kepada-Nya
Malu
yang bisa menjadi perisai keimananku
.....
Aku
begitu malu
Malu
dengan calon bidadari pendampingku
Malu
tak mampu menjadi Imam
Malu
tak mampu memenuhi kebutuhannya
.....
Bagai
ditampar oleh ganasnya kehidupan
Ketika
aku mendapati istriku berlelah-lehah bekerja
Bagai
hati tersayat sebilah pedang
Ketika
aku mendapati anak-anaku tak mendapatkan perhatian sepenuhnya
.....
Aku
malu dan begitu takut
Ketika
kau mendapati anak-anaku tumbuh menjadi anak-anak yang nakal
Anak-anak
yang kurang perhatian dari tangan mulia seorang ibu
Sosok
ibu yang rela mengorbankan jiwa dan raga untuk kebaikan buah hatinya
.....
Rasa
malu dan takut itulah yang membuatku tersadar
Sadar
untuk memperbaiki diri
Sadar
untuk mencari lahan-lahan rizky yang Allah tebar
Sadar
untuk menjadi laki-laki yang tangguh dan memuliakan seorang wanita
By.
Rief_fatih, Mutiara Kehidupan, 19 Februari 2012
================================================================
PERHATIAN !
================================================================
PERHATIAN !
Buat Sista dan Bunda yang punya masalah seputar Kecantikan, kewanitaan dan kandungan:
- Jerawat tak kunjung sembuh
- Noda Jerawat yang tak kunjung hilang
- Luka bakar, oprasi yang buat anda ga pede
- Keputihan
- Gatal, gatal, bau tak sedap di mis v
- Kanker servick, miom
- Kegemukan
- Terlalu kurus
- Sudah lama menikah belum HAMIL
Temukan solusinya di tempat kami
Konsultasi GRATIS via sms/wa 085643035547
bb 75966580
Dalam kontek kekinian, rasa malu tetap menjadi relevan untuk kita bicarakan. Khususnya untuk wahai kalian para laki-laki yang mengaku Muslim. Saat ini kita sering menjumpai orang yang beriman hanya sebatas di hati dan lisan mereka semata. Mereka percaya Islam adalah jalan hidup dan keselamatan dan lisan mereka pun mengatakan, akan tetapi sikap dan perbuatan mereka jauh dari cerminan seorang Muslim.
ReplyDeletehahah itu saya banget
ReplyDeleteistigfar akhi
ReplyDelete