gramediapustakautama.com |
Siapakah
laki-laki itu, yang karenanya Nabi yang mulia mendapat teguran dari langit dan
menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril al-Amin
harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati Nabi yang mulia? Dia tidak
lain adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muazzin Rasulullah.
Abdullah
Ummi Maktum, orang Mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan
Rasulullah saw., yakni anak paman ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid r.a.
Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar “ummi
maktum”, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam kedaan buta total.
Ketika
cahaya Islam mulai memancar di Mekah, Allah melapangkan dada Abdullah bin Ummi
Maktum menerima agama baru itu. Karena itu, tidak diragukan lagi dia termasuk
kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama,
Abdullah turut menanggung segala macam suka dan duka kaum muslimin di Mekah
ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti yang diderita
kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindak kekerasan
lainnya. Tetapi, apakah karena tindak kekerasan itu lantas Ibnu Ummi Maktum
menyerah? Tidak?! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan, dia
semakin teguh berpegang pada agama Islam dan kitab Allah (Alquran). Dia semakin
rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majlis Rasulullah.
Begitu
rajin dan rakusnya dia mendatangi majlis Rasulullah, menyimak dan menghafal
Alquran, sehingga tiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan
yang baik selalu direbutnya. Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang
diinginkan dari Rasulullah, disamping keuntungan bagi yang lain-lain juga.
Pada
masa permulaan tersebut, Rasulullah saw. sering mengadakan dialog dengan
pemimpin-pemimpin Quraisy, seraya mengharap semoga mereka masuk Islam. Pada
suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah,
‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah,
ayah Saifullah Khalid bin Walid.
Rasulullah
berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin
mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat
beliau. Sementara, beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah
bin Ummi Maktum datang mengganggu minta dibacakan kepada ayat-ayat Alquran.
Kata Abdullah, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah
diajarkan Allah kepada Anda!”
Rasulullah
terlengah memperdulikan permintaan Abdullah. Bahkan, beliau agak acuh terhadap
interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan
dengan para pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka,
Islam bertambah kuat dan dakwah bertambah lancar. Selesai berbicara dengan
mereka, Rasulullah saw. bermaksud pulang. Tetapi, tiba-tiba penglihatan beliau
menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul.
Kemudian,
Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia
ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan
pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yang
merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan)
atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang
kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut
kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)!
Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah
ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang
dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia
lagi (senantiasa) berbakti.” (Abasa: 1 — 6).
Enam
belas ayat itulah yang disampaikan Jibril al-Amin ke dalam hati Rasulullah saw.
sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca
sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.
Sejak
hari itu Rasulullah saw. tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Abdullah
apabila dia datang. Beliau menyilakan duduk di tempat duduknya, beliau tanyakan
keadaannya, dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau
memuliakan Abdullah sedemikian rupa, bukankah teguran dari langit itu sangat
keras!
Tatkala
tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan
menjadi-jadi, Allah SWT mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah.
Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan
agamanya. Dia bersama-sama Mush’ab bin Umair, sahabat-sahabat Rasul saw. yang
pertama-tama tiba di Madinah. Setibanya di Yatsrib (Madinah), Abdullah dan
Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Alquran dan mengajarkan
pengajaran Islam.
Setelah
Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau mengangkat Abdullah bin Ummu Maktum
serta Bilal bin Rabah menjadi muadzdzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas
meneriakkan kalimah tauhid (azan) lima kali sehari semalam, mengajak orang
banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal
azan, Abdullah Qamat; Abdullah azan, Bilal qamat.
Dalam
bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal azan tengah malam membangunkan
kaum muslimin untuk makan sahur dan Abdullah azan ketika fajar menyingsing,
memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makan dan
minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk
memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum, beberapa kali Rasulullah mengangkatnya
menjadi wali kota Madinah menggantikan beliau apabila meninggalkan kota. Tujuh
belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada Abdullah. Salah satu di
antaranya ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Mekah dari
kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.
Setelah
perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Alquran, mengangkat derajat kaum
muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka
yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela
orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat
berkesan di hati Abdullah Ummi Maktum. Tetapi, baginya sukar mendapatkan
kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Ya
Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi perang.” Kemudian, dia
memohon kepada Allah dengan hati yang penuh tunduk semoga Allah menurunkan
ayat-ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang cacat (uzur) seperti dia,
tetapi hati mereka ingin sekali hendak berperang. Dia senatiasa berdoa dengan
segala kerendahan hati. Dia berkata, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai
orang-orang yang uzur seperti aku!” Tidak berapa lama, kemudian Allah SWT
memperkenankan doanya.
Zaid
bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw. yang bertugas menuliskan wahyu,
menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau diam,
sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban
yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban
berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulis, hai zaid!”
Lalu aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut
berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah.” (An-Nissa’:
95).
Ibnu
Ummi Maktum berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang
yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang) karena cacat?” Selesai pertanyaan
Abdullah, Rasulullah saw. terdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah
aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang,
Rasulullah saw. berkata, “Coba, baca kembali yang telah engkau tulis!”
Aku membaca, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang)”
Lalu kata beliau, “Tulis!” “Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.”
Maka,
turunlah pengecualian yang ditunggu-tunggu Ibnu Ummi Maktum. Meskipun Allah SWT
telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang uzur seperti dia untuk
tidak berjihad, dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak
turut berperang. Dia tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fi
sabiilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat
dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan yang besar.
Maka, karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan
tugasnya sendiri untuk berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan
perang.
Katanya,
“Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan
memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan
lari.”
Tahun ke empat
belas hijriyah, khalifah Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia
dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintah yang dzalim dan
menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. Umar
memerintahkan kepada setiap gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya.
“Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata,
atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani atau yang berpikiran tajam,
melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”
Maka,
berkumpullah kaum Muslimin di Madinah dari segala penjuru, memenuhi panggilan
khalifah Umar bin Khaththab. Di antara mereka terdapat seorang prajurit buta,
yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Khalifah Umar mengangkat Sa’ad bin Abu Waqqash
menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian, khalifah memberikan
instruksi-instruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.
Setelah
pasukan besar itu sampai di Qadisiyyah, Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju
besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum
muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping
bendera itu.
Pada
hari ketiga perang itu, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah
disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut
dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka, pindahlah
kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin, dan runtuhlah
mahligai yang termegah. Berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala
itu.
Kemenangan
yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa dan ratusan para syuhada. Di
antara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia
ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk
darah kaum muslimin.
Sumber: Shuwar
min Hayaatis Shahabah, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
Dikutip dari :
http://ainuamri.wordpress.com/2007/10/30/abdullah-bin-ummi-maktum/
No comments:
Post a Comment