kbm-ft-unm.blogspot.com |
Kita
mungkin tidak banyak mendengar kisah sahahabat Nabi SAW yang satu ini. Selain
sebagai pribadi yang selalu mengutamakan kebersahajaan dan zuhud, ia memang
tidak menyukai publikasi. Tapi dibalik itu ia adalah seorang tentara Allah yang
tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasulullah
SAW.
Sa’id
menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Semenjak itu, curahkan
seluruh kehidupannya semata-mata untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan
dan kepatuhan, zuhud dan keshalihan, keluhuran dan ketinggian, adalah akhlak
yang selalu meliputinya. Kebesaran tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar
daripada tersembul di permukaan lahir yang kemilau. la jauh tersembunyi di
sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya.
Ketika
Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab memecat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai
kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan
menjadi penggantinya. Sistem yang digunakan Umar untuk memilih pegawai dan
pembantunya adalah suatu sistem yang mengandung segala kewaspadaan, ketelitian
dan pemikiran yang matang, karena ia menaruh keyakinan bahwa setiap kesalahan
yang dilakukan oleh setiap penguasa di tempat yang jauh sekali pun, yang akan
ditanya oleh Allah swt. ialah dua orang: pertama Umar, dan kedua baru penguasa
yang melakukan kesalahan itu. Karenanya syarat-syarat yang dipergunakannya
untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan sangat ketat serta
didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna.
Syria
ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar yang telah mengalami
pelbagai pergantian peradaban sesuai dengan silih bergantinya penguasa kota
itu. Ia juga menjadi pusat perdagangan yang penting. Maka menurut Umar, tidak
ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat
diperdayakan syetan mana pun, seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk
dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah.
Tiba-tiba
Umar berseru, katanya, “Saya telah menemukannya, bawa ke sini, Sa’id bin
‘Amir!” Tak lama kemudian datanglah Sa’id menemui Amirul Mu’minin yang
menawarkan kepadanya jabatan wali kota Homs, tetapi Sa’id menyatakan
keberatannya, katanya, “Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul
Mu’minin!” Dengan nada keras Umar menjawab, “Tidak, demi Allah saya tak hendak
melepaskan anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di
atas pundakku , lalu tuan-tuan meninggalkan daku?”
Dalam
sekejap Sa’id dapat diyakinkan. Memang sungguh suatu hal yang tidak adil bila
mereka mengalungkan ke leher Umar amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu
mereka meninggalkannya. Dan andai seorang Sa’id bin ‘Amir menolak memikul
amanat tersebut, siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung
jawab yang amat berat itu? Akhirnya Sa’id beserta istrinya berangkat ke Homs.
Sebetulnya kedua mereka adalah pengantin baru dan isterinya adalah seorang
wanita yang amat cantik. Mereka dibekali Umar secukupnya.
Ketika
kedudukan mereka di Homs telah mantap, sang isteri bermaksud menggunakan haknya
sebagai isteri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal
mereka. Diusulkannya kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan
perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya.
Sa’id
menjawab, “Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih baik dari rencanamu itu? Kita
berada di suatu negeri yang amat pesat perdagangannya dan laris barang
jualannya. Maka lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang yang akan
mengambilnya sebagai modal dan akan memperkembangkannya.”
“Bagaimana jika
perdagangannya rugi?” tanya isterinya.
“Saya akan
sediakan borg atau jaminan,” ujar Sa’id.
“Baiklah kalau
begitu,” kata isterinya pula. Kemudian Sa’id pergi keluar, lalu membeli
sebagian keperluan hidup dari jenis yang amat bersahaja, dan sisanya yang tentu
masih banyak itu dibagi-bagikannya kepada faqir miskin dan orang-orang membutuhkan.
Hari-hari
pun berlalu, dan dari waktu ke waktu isteri Sa’id menanyakan kepada suaminya
soal perdagangan mereka dan bilakah keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu
dijawab oleh Sa’id bahwa perdagangan mereka berjalan lancar, sedang keuntungan
bertambah banyak dan kian meningkat.
Pada
suatu hari isterinya memajukan lagi pertanyaan serupa di hadapan seorang
kerabat yang mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa’id pun tersenyum lalu
tertawa yang menyebabkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang isteri.
Didesaknyalah suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Maka
disampaikannya bahwa harta itu telah disedeqahkannya dari semula. Wanita itu
pun menangis dan menyesali dirinya karena harta itu tak ada manfaatnya sedikit
pun, karena tidak jadi dibelikan untuk keperluan hidup dirinya, dan sekarang
tak sedikit pun tinggal sisanya.
Sa’id
memandangi isterinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah
menambah kecantikan dan kemolekannya. Dan sebelum pandangan yang penuh godaan
itu dapat mempengaruhi dirinya, Sa’id menujukkan penglihatan bathinnya ke
surga, maka tampaklah di sana kawan-kawannya yang telah pergi mendahuluinya,
lalu katanya, “Saya mempunyai kawan-kawan yang telah lebih dulu menernui Allah
dan saya tak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan
segata isinya.”
Dan
karena ia takut akan tergoda oleh kecantikan isterinya itu, maka katanya pula
yang seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama isterinya, “Bukankah
kamu tahu bahwa di dalam surga itu banyak terdapat gadis-gadis cantik yang
bermata jeli, hingga andainya seorang saja di antara mereka menampakkan
wajahnya di muka bumi, maka akan terang-benderanglah seluruhnya, dan tentulah
cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan. Maka mengurbankan dirimu
demi untuk mendapatkan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama daripada
mengurbankan mereka demi karena dirimu.”
Diakhirinya
ucapan itu sebagaimana dimulainya tadi, dalam keadaan tenang dan tenteram,
tersenyum simpul dan pasrah. Isterinya diam dan maklum bahwa tak ada yang lebih
utama baginya daripada mengikuti jalan yang telah ditempuh suaminya, dan
mengendalikan diri untuk mencontoh sifat zuhud dan ketaqwaannya.
Dewasa
itu Homs digambarkan sebagai Kufah kedua. Hal ini disebabkan sering terjadinya
pembangkangan dan pendurhakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang
kekuasaan. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor dalam soal
pembangkangan ini, maka kota Homs diberi julukan sebagai Kufah kedua. Tetapi
bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang pernirnpin-pernirnpin
mereka sebagai kita sebutkan itu, narnun terhadap hamba yang shalih sebagaimana
Sa’id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan taat kepadanya.
Pada
suatu hari Umar menyampaikan berita kepada Sa’id, “Orang-orang Syria
mencintaimu.” “Mungkin karena saya suka menolong dan membantu mereka, ” ujar
Sa’id. Hanya, bagaimanapun cintanya warga kota Homs terhadap Sa’id, adanya
keluhan dan pengaduan, tak dapat dielakkan: sekurang-kurangnya untuk
membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi kota Kufah di
Irak.
Suatu
ketika, tatkala Amirul Mu’minin Umar berkunjung ke Homs, ditanyakannya kepada
penduduk yang sedang berkurnpul lengkap, “Bagaimana pendapat kalian tentang
Sa’id?” Sebagian hadirin tampil mengadukannya, tetapi rupanya pengaduan itu
mengandung barkah karena dengan demikian terungkaplah dari satu segi kebesaran
pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang amat menakjubkan serta mengesankan!
Dari
kelompok yang mengadukan itu Umar meminta agar mereka mengernukakan titik-titik
kelemahannya satu derni satu. Maka atas nama kelornpok tersebut majulah
pembicara yang mengatakan, “Ada empat hal yang hendak kami kemukakan: Pertama,
ia baru keluar mendapatkan kami setelah tinggi hari. Kedua, tak hendak melayani
seseorang di waktu malam hari. Ketiga, Setiap bulan ada dua hari di mana ia tak
hendak keluar mendapatkan kami hingga kami tak dapat menernuinya. Dan keempat,
sewaktu-waktu ia jatuh pingsan.”
Umar
tunduk sebentar dan berbisik memohon kepada Allah, katanya, “Ya Allah, hamba
tahu bahwa ia adalah hamba-Mu terbaik, maka hamba harap firasat hamba terhadap
dirinya tidak meleset.” Lalu Sa’id dipersilahkan untuk membela dirinya, ia
berkata, “Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum tinggi
hari, maka demi Allah, sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya. Keluarga kami
tak punya khadam atau pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan
membiarkannya sampai mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudlu untuk
shalat dluha. Setelah itu barulah saya keluar menemuni mereka.”
Wajah
Umar berseri-seri, dan katanya, “Alhamdulillah, dan mengenai yang kedua?”
Sa’id pun
melanjutkan pembicaraannya, “Adapun tuduhan mereka bahwa saya tak mau melayani
mereka di waktu malam , maka demi Allah saya benci menyebutkan sebabnya. Saya
telah menyediakan siang hari bagi mereka, dan malam hari bagi Allah Ta’ala.
Sedang ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di mana saya tidak menernui
mereka, maka sebabnya sebagai saya katakan tadi – saya tak punya khadam yang
akan mencuci pakaian, sedang pakaianku tidak pula banyak untuk dipergantikan.
Jadi,
terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai kering, hingga baru dapat
keluar di waktu petang. Kemudian, tentang keluhan mereka bahwa saya
sewaktu-waktu jatuh pingsan, sebabnya karena ketika di Mekah dulu saya telah
menyaksikan jauh tersungkurnya Khubaib Al-Anshari. Dagingnya dipotong-potong
oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil mereka menanyakan
kepadanya: “Maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad sebagai gantimu, sedang
kamu berada dalam keadaan sehat wal ‘afiat…?
Jawab
Khubaib, “Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku
diliputi oleh keselamatan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah ditimpa
bencana, walau oleh hanya tusukan duri sekalipun! Maka setiap terkenang akan
peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam keadaan
musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan
pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa
Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu.”
Sampai
di sana berakhirlah kata-kata Sa’id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh
air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih. Mendengar itu, Umar tak
dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira:
“Alhamdulillah,
karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya!” Lalu dirangkul dan
dipeluknya Sa’id, serta diciurnlah keningnya yang mulia dan bersinar cahaya.
Nah, petunjuk macam apakah yang
telah diperoleh makhluq seperti ini…?
Guru dari kaliber manakah Rasulullab SAW itu…?
Dan sinar tembus seperti apakah Kitabullah itu…?
Corak sekolah yang telah memberikan bimbingan dan meniupkan inspirasi manakah Agama Islam ini . . .?
Guru dari kaliber manakah Rasulullab SAW itu…?
Dan sinar tembus seperti apakah Kitabullah itu…?
Corak sekolah yang telah memberikan bimbingan dan meniupkan inspirasi manakah Agama Islam ini . . .?
Tetapi
mungkinkah bumi dapat memikul di atas punggungnya jumlah yang cukup banyak dari
tokoh-tokoh berkwalitas demikian? Sekiranya mungkin, tentulah ia tidak disebut
bumi atau dunia lagi…, lebih tepat bila dikatakan Surga Firdausi… Sungguh, ia
telah menjadi Firdaus yang telah dijanjikan Allah! Dan karena Firdaus itu belum
tiba waktunya, maka orang-orang yang lewat di muka bumi dan tampil di arena
kehidupan dari tingkat tinggi dan mulia seperti ini amat sedikit dan jarang adanya…
Dan Sa’id bin ‘Amir adalah salah seorang di antara mereka…
Uang
tunjangan dan gaji yang diperolehnya banyak sekali, sesuai dengan kerja dan
jabatannya, tetapi yang diambilnya hanyalah sekedar keperluan diri dan
isterinya, sedang selebihnya dibagi-bagikan kepada rumah-rumah dan
keluarga-keluarga lain yang membutuhkannya.
Suatu
ketika ada yang menasihatkan kepadanya, “Berikanlah kelebihan harta ini untuk
melapangkan keluarga dan famili isteri anda!” Maka ujarnya, “Kenapa keluarga
dan ipar besanku saja yang harus lebih kuperhatikan? Demi Allah, tidak. Saya
tak hendak menjual keridlaan Allah dengan kaum kerabatku!”
Memang telah
lama dianjurkan orang kepadanya, “Janganlah ditahan-tahan nafqah untuk diri
pribadi dan keluarga anda, dan ambillah kesempatan untuk meni’mati hidup.”
Tetapi
jawaban yang keluar hanyalah kata-kata yang senantiasa diulang-ulangnya, “Saya
tak hendak ketinggalan dari rombongan pertama, yakni setelah saya dengar Rasulullah
SAW bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla akan menghimpun manusia untuk dihadapkan
ke pengadilan. Maka datangtah orang-orang miskin yang beriman,
berdesak-desakkan maju ke depan lak ubahnya bagai kawanan burung merpati. Lalu
ada yang berseru kepada mereka: Berhentilah kalian untuk menghadapi
perhitungan! Ujar mereka, “Kami tak punya apa-apa untuk dihisab.” Maka Allah
pun berfirman, “Benarlah hamba-hamba-Ku itu…Lalu, masuklah mereka ke dalam
surga sebelum orang-orang lain masuk…”
Dan
pada tahun 20 Hijriyah dengan lembaran yang paling bersih, dengan hati yang
paling suci dan dengan kehidupan yang paling cemerlang. Sa’id bin ‘Amir pun
menemui Allah. Telah lama sekali rindunya terpendam untuk menyusul rombongan
perintis, yang hidupnya telah dinadzarkannya untuk memelihara janji dan
mengikuti langkah mereka. Sungguh, rindunya telah tiada terkira untlik dapat
menjumpai Rasul yang menjadi gurunya, serta teman sejawatnya yang shalih dan
suci…! Maka sekarang ia akan menernui mereka dengan hati tenang, jiwa yang tenteram
dan beban yang ringan . Yang tak ada beserta atau di belakangnya beban dunia
atau harta benda yang akan memberati punggung atau menekan bahunya.
Tak
ada yang dibawanya kecuali zuhud, keshalihan dan ketaqwaannya serta kebenaran
jiwa dan budi baiknya. Semua itu adalah keutamaan yang akan memberatkan daun
timbangan, dan sekali-kali takkan memberatkan beban pikulan.Keistimewaan
tersebut dipergunakan oleh pemiliknya untuk menggoncang dunia, dan dijadikan
pegangan yang kokoh sehingga tak tergoyahkan oleh tipu daya dunia.
Selamat bahagia
bagi Sa ‘id bin ‘Amir…! Selamat baginya, baik selagi hidup maupun setelah
wafatnya…!
Selamat, sekali
lagi selamat, terhadap riwayat dan kenang-kenangannya. Serta selamat bahagia
pula bagi para shahabat Rasulullah, yakni orang-orang mulia dan gemar beramal
serta rajin beribadat…!
Sumber: Karakteristik
Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, Khalid Muh. Khalid
Dikutip dari :
http://ainuamri.wordpress.com/2007/10/30/said-bin-amir/
No comments:
Post a Comment