facebook.com |
Pada
saat balatentara Islam berperang, kalah dan menang di beberapa penjuru bumi, di
kota Madinah berdiam seorang ahli hikmah dan filsuf yang mengagumkan. Dari dirinya
memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.
Ia
senantiasa mengucapkan kata-kata indah kepada masyarakat sekelilingnya,
"Maukah kamu sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik. Amalan
yang terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih baik
dari memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun
menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak?"
Para
pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, lalu
bertanya, "Apakah itu wahai, Abu Darda'?"
Abu Darda'
menjawab, "Dzikrullah!"
Ahli
hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut filsafat dan
mengasingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia,
dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fi
sabilillah.
Abu
Darda' bukanlah tipe orang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad
mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan
Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah.
Abu
Darda' adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia adalah sosok yang telah
dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya.
Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga
mencapai tingkat kebenaran yang teguh.
Pernah
ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda'. Sang ibu
menjawab, "Tafakur dan mengambil i'tibar (pelajaran)."
Pada
saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda' adalah seorang
saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah. Dan sebelum
memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan,
bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama
setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
"Aku
tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku
termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak
melalaikannya dari dzikir kepada Allah," ujarnya.
Abu
Darda' sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat
Al-Qur'an yang berisi bantahan terhadap, "Orang yang
mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya." (QS Al-Humazah:
2-3).
Ia juga sangat
terkesan sabda Rasulullah SAW, "Yang sedikit mencukupi, lebih baik
daripada yang banyak namun merugikan."
Oleh sebab
itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan.
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang."
Orang-orang
bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang
itu?"
"Memiliki
harta benda di setiap lembah!" jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk
memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun
keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya.
Maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.
Saat
itu ia juga berkata, "Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap
dunia, maka tak ada dunia baginya."
Bagi Abu Darda',
harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih.
Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang
halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan
dan mati-matian. "Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan
kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!"
ujarnya.
Menurut
keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi
jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi. Pada suatu hari, para
sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas
hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan
kasur yang lebih baik dan empuk.
Tawaran
ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola
matanya menatap jauh ke depan. "Kampung kita nun jauh di sana, untuknya
kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat
kepadanya dan beramal untuk bekal di sana."
Sumber:
101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
dikutip dari :
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/06/12
No comments:
Post a Comment